Organizational justice (Reberta Oktavela)



Organizational justice

Organizational justice adalah bagaimana seseorang dalam memahami fairness atau unfairness di tempat kerja. Organizational justice ini fokus pada apakah karyawan menerima dan merasakan apakah mereka merasa unfair dan bagaimana reaksi mereka terhadap hal tersebut.

3 tipe Organizational justice:
1. distributive justice
ini merupakan dasar dari prinsip keadilan. Mengenai bagaimana orang menilai bahwa mereka diberi reward yang sesuai atas usaha mereka dibandingkan dengan reward yang diterima oleh orang lain.
2. Procedural justice
Procedural justice adalah keadilan yang dirasakan dari proses decision making. Maksudnya adalah apakah seseorang itu diberi kesempatan untuk berbicara di dalam proses decision making tersebut. Fairness akan meningkat jika mereka diberi kesempatan untuk mempresentasikan dan berpartisipasi dalam decision making process.
3. Interactional justice
Interactional justice mengenai cara seseorang menyampaikan keputusannya. Karyawan juga akan merasa unfair dari penyampaian keputusan, karena itu berkaitan dengan komunikasi dan interaksi. Interactional justice sangat dibutuhkan oleh seorang manager.

Organizational justice sangat dibutuhkan dalam perusahaan, karena jika karyawan merasa unfair maka motivasi kerjanya akan menurun dan itu juga akan mempengaruhi perusahaan.


Belbin Team Roles (Anita Lusiana)



Belbin Team Roles

Kinerja yang baik dalam tim tentu menjadi faktor penting dalam suksesnya suatu tugas yang dikerjakan secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Hal ini pulalah yang di teliti oleh Dr Meredith Belbin, pada tahun 1970 yang mengindentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja tim. Awalnya, Belbin berasumsi jika tim yang dengan skor kecerdasan tinggilah yang akan lebih unggul dibandingkan skor kecerdasan yang rata-rata. Tetapi selama tahun, ia mengamati mahasiswa di Inggris, dan menemukan hal sebaliknya. Belbin mengatakan bahwa tim yang dapat sukses adalah tim yang dapat memainkan peran spesifik, kepribadian, kecenderungan perilaku, serta kemampuan. Belbin juga mengatakan, jika hal tersebut tidak terpenuhi, maka kebutuhan tim menjadi kurang seimbang.

Selain itu, Belbin juga menciptakan peran tipologi atau peran spesifik, yang awalnya ada 8 namun Ia menambahkan 1, jadi 9 peran. Peran tersebut secara ringkas adalah :
- Shaper : focus pada tugas & mampu mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama
- Implementer : mengubah ide jadi aksi, tidak hanya bicara saja
- Complete / Finisher : lebih berfokus pada pencapaian akhir (melihat goalnya apa)
- Coordinator : pemimpin alami, bersikap tenang, dan mendukung orang lain dalam bekerja
- Team worker : menegosiasikan apa yang dilakukan, yang berguna untuk membantu tim bekerja sama
- Resource Investigator : orang-orang yang inovatif, mereka akan mencoba untuk mengakses sumber daya untuk membantu tim
- Plant : tertarik untuk mengekplorasi ide2 yang baru
- Monitor evaluator : pandai untuk menilai gagasan orang lain, yang dianggap paling baik
- Specialist : berfokus pada kontribusi teknis untuk mencapai tugas

Peran-peran ini juga memilik kelebihan serta kekurangan masing-masing, karena anggota tim harus menyesuaikan aplikasi-aplikasi yang ada. Pada dasarnya aplikasi dari teori Belbin lebih dikenal sebagai BTRSPI yaitu Belbin Team Roles Self Perception Inventory. Belbin juga mengatakan peran ini bukanlah sebuah kepribadian dasar tetapi dapat diobservasi secara perilaku, dari tingkah laku yang ada.



Skilled Helper Model (Syifa Mellinda)

Gerrard Egan, pertama kali menerbitkan Skilled Helper Model pada tahun 1970-an. Skilled Helper Model adalah model untuk mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi. Fokus dari model ini adalah untuk mendukung konselor dan terapis dengan memberikan kerangka. Kerangka ini mempunyai dua fungsi utama. Pertama, menetapkan wilayah 'helping', dan kedua, mengidentifikasi jenis-jenis tugas yang terlibat dan bagaimana mereka saling berhubungan. Kerangka tersebut telah di adopsi dan di adaptasi oleh manager, trainer, dan pendidik.
Model Egan bertujuan untuk membantu 3 pertanyaan utama:
1. Apa yang terjadi?
2. Apa yang saya inginkan?
3. Bagaimana saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan?
Tidak semua orang perlu untuk menjawab semua dari tiga pertanyaan tersebut sekaligus, dan kadang-kadang orang dapat bergerak maju atau mundur pada setiap tahapnya.
Proses
Tahap 1: Current scenario
Membantu klien mengidentifikasi, mengeksplorasi, dan menjelaskan situasi masalah dan sumber daya yang tidak terpakai.
Tahap 2: Preferred scenario
Pada tahap ini, klien diminta untuk berpikir apa yang mereka inginkan. Dengan cara ini, masalahnya dilihat sebagai kesempatan daripada hambatan.
Tahap 3: Action strategies
Tahap terakhir adalah membantu klien mengklarifikasi tindakan mereka yang mengarah ke tujuan yang diinginkan. Tantangan kepada klien pada akhirnya adalah untuk sespesifik mungkin tentang kapan dan bagaimana mereka akan mengambil langkah-langkah berikutnya.

Ada dua tujuan dari kerangka ini: 1) membantu klien mengelola masalah mereka menjadi lebih efektif dan mengembangkan sumber daya yang tidak terpakai dan kesempatan yang hilang sepenuhnya, 2) membantu klien menjadi lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.
Peran helper adalah memfasilitasi klien untuk bekerja dengan bebas dalam keadaan dimana mereka mengambil tindakan yang mereka ingin ambil.



Social Learning Theory (Rr. Nursheila Aska)


Social learning theory (SLT) menunjukkan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh tiga hubungan, yaitu faktor kognitif (cognitive factors), lingkungan (environmental factors), dan perilaku (behavioral factors), sehingga SLT merupakan jembatan antara kognitif dengan perilaku manusia. Sebelumnya, learning theory fokus pada dua buah hal:
1. Behavior approach (belajar dari pengalaman masa lalu).
2. Cognitive approach (memahami pembelajaran yang terjadi di dalam pikiran seseorang).
Menurut Albert Bandura tahun 1977, social learning theory adalah penjelasan mengenai perilaku manusia yang saling berhubungan secara timbal balik dengan kognitif, perilaku, dan lingkungan. Terdapat beberapa faktor penting dari cognitive, behavioral, dan environmental:
1. Cognitive (kognitif): knowledge (pengetahuan), expectation (harapan), dan attitudes (sikap).
2. Behavioral (perilaku): skill (keterampilan), practice (latihan), self-efficacy, dan berperilaku sesuai situasi.
3. Environmental (lingkungan): social norms (norma sosial), komunitas role models, kemampuan seseorang untuk mengubah lingkungan sekitarnya, dan memengaruhi orang lain.

Proses pembelajaran terjadi atas dasar strategi educational dan training. Bandura dan para pakar social learning mengembangkan beberapa hal yang mendukung pengaplikasian SLT untuk belajar di tempat kerja:
1. Pekerja menggunakan rekan kerjanya sebagai role models (pekerja meniru sikap teman rekan kerjanya).
2. Tujuan seseorang merupakan representasi kognitif dari keinginan seseorang, sehingga bila terdapat kesenjangan antara tujuan dan situasi yang terjadi, maka akan ada perubahan pada harapan self-efficacy mereka. Dengan kata lain, keyakinan diri (self-belief) dipengaruhi oleh harapan dalam meraih tujuan.
3. Supervisor juga dapat memberikan contoh atau teladan dalam nilai kerja kepada pekerja yang memiliki keyakinan diri rendah.
4. Kesadaran manusia dapat membantu mereka merasakan apa yang terjadi di saat ini dan membantu mereka membimbing untuk masa depannya.
5. Manusia belajar dengan cara mengamati perilaku orang lain.
6. Perilaku modeling terjadi ketika trainee mengamati orang lain yang menerima reward untuk tugas tertentu, kemudian trainee menggabungkan perilaku baru ke dalam rutinitas bekerjanya.

Terdapat sebuah program training yang didasarkan pada prinsip SLT, contohnya pada komunikasi tim:
- Trainer (pelatih) menekankan bahwa perilaku komunikasi tim diperlukan dalam presentasi yang singkat.
- Trainee (peserta) diberi waktu untuk menonton video yang menampilkan perilaku yang didemonstrasikan oleh kinerja tim yang bagus.
- Diskusi kelompok dengan trainer mengenai video dan pelajaran yang dapat dipelajari.
- Bermain peran komunikasi tim antar peserta dengan feedback yang diberikan dari trainer dan kelompok peserta.
- Trainees dianjurkan untuk mempraktikkan perilaku yang telah diajarkan (di tempat kerja mereka).
- Dua minggu kemudian, kelompok (para peserta) bertemu kembali untuk mendiskusikan pengalamannya dan mereka juga menerima sertifikat.


Circadian Rhytms (Fera Lumumba Tampubolon)


Apa yang terjadi apa bila seseorang hanya memiliki waktu tidur 2 jam sehari atau bahkan tidak tidur sama sekali? Mungkin sebagian besar orang akan menjawab memiliki beberapa keluhan seperti sakit kepala, mengantuk, badan terasa lemas, kurang bersemangat, dan juga kurang dapat berkonsentrasi. Sebagian kecil lagi mungkin awalnya hanya memiliki keluhan ringan saja, tanpa memiliki efek yang jelas terhadap dirinya. Namun, lama-kelamaan mungkin secara sadar atau tidak, individu tersebut akan merasa lelah secara fisik. Pada pembahasan ini, siklus sirkadian erat kaitannya dengan jam istirahat seseorang. Siklus sirkadian adalah, proses psikologikal manusia secara alami yang secara kasar memiliki siklus selama 24 jam (Halberg, et al, 1959). Siklus sirkadian ini terdiri dari aktifitas tidur seseorang, suhu badan, tekanan darah, serta hal-hal yang berhubungan dengan hormon seseorang. Maka dari itu, apabila siklus yang di jalani oleh seseorang berjalan dengan baik dan teratur, maka akan membuat tubuhnya akan semakin sehat. Tetapi tubuh kita juga akan menyesuaikan dengan faktor-faktor eksternal yang ada dari lingkungan.
Seseorang dapat dikategorikan dalam dua kategori. Kategori pertama yaitu, morning people yaitu orang yang memiliki waktu atau jadwal tidur yang teratur, dan mereka bangun biasanya pada saat matahari terbit. Kategori kedua yaitu night people, orang ini dikenal seperti burung hantu yang memiliki jadwal tidur malam tidak teratur, dan ketika pagi hari mereka akan tidur lebih lama lagi.
Tidak semua orang memiliki siklus sirkadian yang teratur dengan baik. Ada beberapa orang yang memiliki siklus yang dapat dikatakan sudah berantakan. Contoh orang-orang yang memilki siklus sirkadian yang tidak teratur adalah orang yang sedang memiliki jetlag dan orang yang memiliki pekerjaan yang menggunakan sistem shift kerja. Peneliti disini lebih membahas mengenai sistem shift kerja yang mempengaruhi siklus sirkadian pada seseorang. Salah satu contoh pekerjaan yang menggunakan shift adalah pekerja di bidang medis, seperti perawat dan dokter. Tidak jarang terjadi kecelakaan dalam dunia kerja yang dipengaruhi oleh siklus sirkadian ini.
Perhatian utama dalam pembahasan ini adalah bagaimana dampak yang ditimbulkan apabila pekerja mengalami gangguan siklus sirkadian. Peneliti menegaskan bahwa kualitas kinerja dalam mengerjakan suatu tugas cenderung mencerminkan bagaimana siklus sirkadian yang dimiliki oleh pekerja tersebut. Misalnya saja seorang pekerja yang memiliki jam tidur hanya dua jam sehari mungkin akan merasa mengantuk sehingga dia hanya mementingkan kecepatan dalam penyelesaian tugasnya dibandingkan dengan kualitas atau hasil dari pekerjaannya.
Reaksi orang terhadap gangguan siklus sirkadian bermacam-macam. Beberapa orang mungkin merasa selalu lelah dan disorientasi. Beberapa orang lagi merasa lelah dan mengantuk yang susah untuk dikontrol, dan kesulitan untuk konsentrasi pada tugas-tugas yang sedang dikerjakan. Hal tersebut mungkin sebagian dari dampak jangka pendek yang dirasakan, dampak jangka panjang yang mungkin akan dialami oleh individu dengan siklus sirkadian yang tidak teratur akan lebih rentan terhadap penyakit kanker, gastrointestinal, dan penyakit jantung. Beberapa penyakit tersebut memang tidak sepenuhnya disebabkan oleh siklus sirkadian yang tidak teratur, namun juga berkaitan dengan faktor gaya hidup dengan jam kerja seseorang. Misalnya seperti seringnya makan makanan cepat saji dan kurang berolahraga. Peneliti juga berpendapat bahwa pekerja diatas usia 40 tahun kurang mampu mengelola perubahan dalam pola tidur ketika mereka memilki pekerjaan dengan sistem shift.
Ada beberapa langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan untuk membantu pekerja dengan sistem shift untuk tetap aman dan efektif dalam pekerjaan mereka:
a) Mengoptimalkan jadwal kerja agar dapat menyeimbangkan diri seseorang secara psikologikal, sosial, dan hal-hal yang berhubungan dengan medis. Namun masih terdapat perdebatan mengenai hal ini.
b) Membuat jam istirahat atau jam tidur yang teratur dalam 24 jam selama bekerja menggunakan sistem shift.
c) Menyediakan waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga dan memastikan bahwa shift yang akan dijalani tidak datang mendadak agar dapat merencanakan kehidupan sosialnya.
d) Memastikan waktu atau fasilitas untuk beristirahat dan makan makanan yang bergizi khususnya untuk para pekerja malam hari
e) Mengajarkan karyawan untuk mengatur atau mengolah stress dalam pekerjaan mereka.
Setelah dijelaskan mengenai langkah-langkah seseorang dalam pekerjaannya, berikut ini juga terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan individu untuk menjauhkan dirinya dari penyakit:
a) Makan yang teratur
b) Mengatur dan membuat jadwal tidur yang menetap
c) Tidur diruangan yang gelap, nyaman dan tanpa saluran telepon
d) Mempelajari dan melatih teknik relaksasi
e) Menjaga tubuh tetap sehat dan mengatur waktu untuk liburan serta aktifitas sosial.

Social Loafing Theory (Vivian Amelia)



Di dalam masyarakat, kita manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa memungkiri bahwa kita harus sering berkomunikasi dan melakukan interaksi untuk bertahan hidup. Seperti contohnya disaat kuliah ataupun kerja, kita sering dituntut untuk bekerja sebagai sebuah kelompok, demi mencapai tujuan tertentu. Chapter ini akan membahas tentang bagaimana kita dapat memastikan bahwa setiap orang melakukan kontribusi yang sama dalam kelompok, dan jika ada yang tidak aktif memberikan kontribusi, maka terdapat cara-cara tertentu untuk mengatasi dan mencegah hal tersebut.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan social loafing? Social loafing terjadi ketika seorang individu menaruh lebih sedikit usaha di dalam kelompok dibandingkan disaat ia bekerja sendiri. Yang menemukan fenomena ini awalnya adalah seorang insinyur Perancis bernama Max Ringelmann. Ringelmann menamakan fenomena ini sebagai Ringelmann effect. Yang kemudian adanya fenomena ini telah dilakukan banyak penelitian untuk lebih jauh mengerti akan fenomena tersebut. Setelah itu, Latane, Williams, dan Harkins (1979) yang mengemukakan gagasan "social loafing." Apalagi ketika dikombinasikan dengan reward yang tidak sesuai dengan performance individu, maka individu akan cenderung mengurangi usaha yang dilakukan. Karau dan Williams menyebutkan ide collective effort model (CEM), bahwa orang akan lebih melakukan social loafing, ketika sulit untuk mengevaluasi kontribusi yang dilakukan dan tugas yang diberikan kompleks dan tidak begitu bermakna. Ukuran kelompok yang besar (> 10) dan budaya yang ada di dalam kelompok cenderung lebih individualistik juga akan menyebabkan hal tersebut. Seseorang yang berharap orang lain untuk berkontribusi lebih dan kelompok yang kurang akan kebersamaan dan komitmen akan lebih rentan menyebabkan orang untuk melakukan social loafing.
Melihat adanya berbagai fenomena tersebut, Rothwell mengemukakan cara untuk mengurangi social loafing, yang disebut dengan 3C, yaitu collaboration, content, dan choice. Kolaborasi yang dimaksud adalah untuk memberikan setiap individu tugas yang spesifik, jelas, dan bermakna. Content merupakan antara tugas dan goals yang dicapai harus jelas hubungannya. Sedangkan choice adalah memberikan individu kesempatan untuk memilih tugas-tugas yang ada, karena dengan memilih sendiri individu akan cenderung memiliki rasa tanggung jawab atas tugas tersebut dan dapat merasakan sebuah "ownership" dari tugas yang dipilihnya.
Kemudian Thompson juga membagikan strategi untuk mengurangi social loafing menjadi 2 bagian, yaitu strategi motivasi dan strategi koordinasi.
Jika terdapat seorang social loafer di dalam kelompok, Rothwell juga mengemukakan beberapa strategi untuk meningkatkan kontribusi individu tersebut, dengan melakukan konfrontasi atau berhadapan langsung dengan individu tersebut. Kemudian dapat juga melakukan diskusi kelompok, membagi ulang tugas, dan melibatkan boss/atasan. Jika langkah-langkah tersebut telah dilakukan dan tidak menunjukkan perubahan, maka pilihan terakhir adalah mengeluarkan individu tersebut dari kelompok.