Organizational Commitment (Lisa Febriani)



Komitmen memiliki peranan penting terutama pada kinerja seseorang ketika bekerja, hal ini disebabkan oleh adanya komitmen yang menjadi acuan serta dorongan yang membuat mereka lebih bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Namun kenyataannya, banyak organisasi dan perusahaan yang tidak terlalu mementingkan dan memperhatikan komitmen karyawannya sehingga hasil kinerja yang mereka hasilkan pun tidak maksimal. Seharusnya, komitmen dalam organisasi itu harus dideteksi sejak awal mula dalam seleksi karyawan. Karena dengan diketahui lebih awal, perusahaan akan mengetahui komitmen para karyawannya dan perusahaan pun akan mampu menyeleksi beberapa karyawan yang mungkin akan mampu memberikan kinerja yang baik, atau yang tidak baik.
Komitmen organisasi adalah penilaian seorang karyawan terhadap organisasinya, keputusan inilah yang menentukan apakah seorang karyawan tersebut tetap berada di perusahaan itu atau keluar dari perusahaannya. Ada tiga jenis komponen dalam komitmen organisasi yaitu affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Affective commitment adalah seseorang yang memiliki ikatan emosional dengan organisasinya. Seseorang yang memiliki affective commitment, merasa bahwa ia tetap tinggal di dalam organisasinya itu karena memang ia menyukai tempat kerjanya atau pekerjaannya saat ini, dan ia memang ingin mengluarkan kinerja yang maksimal di dalam perusahannya. Contohnya adalah salah satu seorang pekerja seni, dalam sehari-hari memang ia memiliki tingkat humor yang tinggi untuk menghibur orang orang disekitarnya, dan saat ini ia bekerja sebagai komedian di salah satu perusahaan televisi swasta. Dalam menjalankan pekerjaannya, ia sangat senang, dan ia pun dapat mengembangkan lebih baik untuk dapat menghibur orang banyak. Tingkat kinerjanya pun sangat baik, terbukti karena acara televisi yang dibawakannya itu mendapat rating yang tinggi.

Komponen kedua dalam komitmen organisasi adalah continuance commitment. Seseorang yang memiliki continuance commitment, memiliki persepsi mengenai biaya dan resiko jika ia meninggalkan organisasinya saat ini. Seseorang yang memiliki continuance commitment akan menghitung-hitung jika ia keluar dari perusahaannya saat ini, apakah ia akan mampu untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari perusahaan sebelumnya atau tidak, sehingga dengan persepsi inilah, maka ia tidak akan tetap tinggal dan bekerja pada peruhaannnya itu. Contohnya adalah saudara perempuan saya, ia saat ini sedang bekerja di salah satu bank swasta, ia sudah bekerja selama satu tahun di bank ini. Sebenarnya, ia tidak menyukai pekerjaannya karena terlalu banyak aktivitas yang mengharuskannya untuk menambah jam kerjanya hingga larut malam. Ia ingin keluar dan mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak waktu untuk bekerja, tetapi ia takut dan tidak ingin keluar dari bank tersebut, karena ia berfikir jika ia keluar, maka penghasilan yang ia terima tidak akan lebih tinggi dari penghasilan yang ia dapatkan di bank swata ini. Akhirnya ia tetap memutuskan untuk tinggal dan bekerja pada perusahaan ini.
Komponen ketiga dalam komitmen organisasi adalah normative commitment. Seseorang yang memiliki normative commitment, merasa mempunyai kewajiban secara psikologis dan tanggung jawab pada organisasi yang mempekerjakannya atau memang seseorang itu terlibat dalam suatu kontrak di suatu perusahaan. Contohnya adalah teman laki-laki saya. Saat ini ia bekerja di bank swasta di Jakarta. Ia masuk di bank tersebut karena dibantu oleh salah satu saudaranya merupakan salah satu pimpinan dalam bank tersebut, dan saat ini ia sudah bekerja selama 6 bulan di bank itu. Dalam menjalankan pekerjaanya, ia merasakan banyak tekanan karena menurutnya teman-teman kerjanya itu tidak saling mendukung dan merasa saling menjatuhkan. Tetapi ia tidak mampu untuk meninggalkan bank tersebut, karena ia merasa segan pada saudara yang memasukkannya di bank itu dan ia pun merasa mempunyai kewajiban untuk bekerja dengan baik di bank itu karena takut mencoret nama baik saudara yang membantunya untuk masuk di bank itu, serta ia pun sudah terikat kontrak selama satu tahun. Hasilnya adalah, ia tetap menetap dalam perusahaan itu.


“Resiliency: Senjata Wajib dalam Hidup” (Maria Theresia A. F.)



Pepatah lama mengatakan, manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan. Seringkali, jalan hidup akan menyimpang dari apa yang kita harapkan atau rencanakan, walaupun kita telah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mencapai tujuan. Pada saat-saat dimana kita menemukan diri kita dalam situasi yang tak terduga dan stressful, akan sangat mudah bagi kita untuk terpuruk di bawah tekanan dan menyerah. Pada saat-saat inilah kita membutuhkan resiliency.
Apakah resiliency? Resiliency merupakan kemampuan untuk bangkit kembali dari peristiwa yang mengguncangkan. Peristiwa yang menyebabkan keguncangan tersebut umumnya bersifat negatif, dapat berupa rintangan, kegagalan, atau kehilangan; misalnya, jalanan yang macet saat kita telat ke kantor, usaha bisnis yang tidak sukses dan bangkrut, dan hilangnya pasangan hidup kita. Peristiwa tersebut juga dapat bersifat positif, dimana suatu peristiwa yang terlalu menguntungkan tidak diikuti dengan proses adaptasi yang sesuai, dan justru membawa stres yang berat bagi kita; misalnya, seseorang yang usaha bisnisnya sukses dan menghasilkan banyak uang, menghabiskan uang tersebut dengan berfoya-foya dan justru mengalami kerugian finansial besar. Peristiwa tersebut juga dapat berupa musibah besar, seperti rumah yang habis terbakar, atau masalah sehari-hari, seperti listrik yang mati saat sedang mengerjakan tugas dengan deadline yang dekat.
Peristiwa-perisitiwa tak terduga tidak dapat dihindari sepanjang hidup kita. Namun, kita dapat mempersiapkan diri untuk saat-saat tersebut dengan membangun resiliency. Maka, pentingnya resiliency sebagai suatu karakteristik yang patut dimiliki tidak dapat dipungkiri; resiliency merupakan "senjata kita dalam melawan rintangan-rintangan hidup.
Untuk menerapkan konsep resiliency dalam kehidupan sehari-hari, mari kita ambil contoh kasus yang sering ditemukan, baik di dunia pekerjaan, bisnis, bahkan perkuliahan. Michael baru saja dipercayakan dengan suatu proyek besar, kompleks, dan penting, dengan deadline yang cepat. Proyek ini lebih sulit dari yang biasa Michael tangani dan saat mengerjakannya Michael merasa kewalahan dan stres.
Bagaimana Michael, dan kita sendiri, dapat membangun resiliency? Ann Masten, seorang pakar positive psychology, telah menemukan 3 faktor yang mempengaruhi resiliency seorang individu; assets (aset-aset), risk factors (faktor- faktor risiko), dan adaptational process (proses adaptasi).
Assets merupakan hal-hal yang kita miliki atau yang ada dalam jangkauan kita yang dapat membantu mengatasi masalah yang kita hadapi. Assets dapat berupa pengetahuan, pelatihan, dan hubungan-hubungan sosial. Kita dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas assets yang kita miliki dengan memperluas pengetahuan kita tentang berbagai macam topik; hal ini dapat dilakukan dengan banyak membaca, menonton TV, mendengar radio, atau bertukar informasi dengan orang lain. Pengalaman masa lalu juga dapat menjadi bagian dari pelatihan yang kita miliki; semakin bervariasi pengalaman kita, semakin luas assets kita. Rekan kerja, teman, atau keluarga kita juga berupa asset; mereka bisa mengetahui, memiliki, dan melakukan apa yang tidak kita ketahui, miliki, atau mampu lakukan. Dengan melakukan riset tentang proyek yang ia lakukan, memikirkan tentang pengalamannya mengerjakan proyek-proyek yang mirip di masa lalu, dan menanyakan teman-temannya seputar proyek yang ia kerjakan, Michael dapat meningkatkan asset-nya dan, dengan itu, resiliency-nya.
Kebalikan dari assets, risk factors adalah segala hal yang menghalangi kemungkinan kita untuk mengatasi masalah yang kita hadapi. Risk factors dapat berupa psikologis dan fisik, seperti kecenderungan penyakit jantung atau kepribadian yang cepat cemas (neurotic); dengan menjaga kesehatan kedua aspek ini, kita dapat meminimalisir risk factors kita dan meningkatkan resiliency. Michael, contohnya, dapat melampiaskan dan mengurangi rasa stres dengan berolah raga, suatu aktivitas yang mendukung kesehatan psikologis dan fisiknya.
Faktor ketiga yang mempengaruhi resiliency kita adalah adaptational processes. Resiliency muncul saat kita memiliki keuletan untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berganti dan menantang; dalam kata lain, resiliency akan muncul bila kita menerapkan proses adaptasi yang baik. Sikap optimis, memiliki kepercayaan bahwa rintangan dapat dilalui, mengetahui cara-cara efektif untuk menangani stres, dan melakukan goal setting yang efektif dapat membantu Michael, dan kita sendiri, untuk mengembangkan adaptational process yang baik.


Managing Difficult People (Levina)





Apabila kita berbicara mengenai difficult people, bukan hanya di dunia kerja kita akan menemui orang-orang seperti itu, namun dalam keseharian kita saat ini pun kita sering menjumpai difficult people. Robert Bramson mendeskripsikan tujuh tipe kepribadian difficult dan gaya komunikasi dari masing-masing tipe tersebut. Selain itu, terdapat pula strategi untuk menghandle tiap tipe tersebut.
Tipe-tipe tersebut antara lain:
(1) Hostile/aggressive : memiliki gaya komunikasi yang menyerang orang lain dan cenderung mem-bully.
Handling strategy : Beri mereka waktu untuk berbicara, namun jangan ragu untuk menginterupsi perkataan mereka. Berikan feedback yang jelas atas perilaku mereka tersebut.

(2) Complaining : memiliki gaya komunikasi yang sering mencari-cari kesalahan.
Handling strategy : Dengarkan mereka namun jangan setuju dengan mereka. Cepat beralih ke pemecahan masalah.

(3) Unresponsive: gaya komunikasi yang cenderung tidak banyak bicara, cenderung menjawab hanya dengan satu kata atau bahkan hanya dengan mengangkat bahu.
Handling strategy : Berikan pertanyaan dengan open question, tatapan mata yang friendly juga dapat membantu.

(4) Super-agreeable : cenderung memberikan jawaban yang menurut mereka ingin didengar oleh lawan bicaranya.
Handling strategy : Berikan feedback yang jujur dan pastikan ke mereka bahwa kita menghargai kejujuran yang mereka berikan.

(5) Negative : sering menggunakan failure language, berasumsi bahwa project yang bukan dikerjakan olehnya kemungkinan besar tidak akan berhasil.
Handling strategy : Berusaha untuk tidak terjerumus dalam pemikiran yang mereka miliki dan coba restate optimisme yang kita miliki.

(6) Know-it-all : merasa dirinya tahu akan segala hal.
Handling strategy : Jangan tantang pemikiran mereka secara langsung dan cari cara untuk tetap dapat menjaga harga diri mereka.

(7) Indecisive : tidak dapat mengambil keputusan atau kesimpulan. Namun, individu dengan tipe ini belum tentu tidak banyak bicara. Mereka mungkin saja banyak bicara, hanya saja mereka tidak dapat mengambil suatu keputusan.
Handling strategy : Ciptakan suatu kondisi dimana mereka diminta untuk mengambil keputusan dan pastikan bahwa kondisi akan tetap aman apabila mereka membuat suatu kesalahan.

Inti dari seluruh handling strategy yang telah disebutkan adalah pencapaian keadaan yang equal dengan para difficult people. Bramson berpendapat bahwa ketika diperhadapkan dengan difficult people, mengalah ataupun berusaha untuk merubah mereka tidaklah efektif. Berusaha untuk mencapai kondisi equal dengan merekalah cara yang paling efektif menurut Bramson. Ketika sudah mencapai kondisi equal, terdapat dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu mereka berubah tanpa kita meminta mereka untuk berubah, atau setidaknya apabila mereka tidak berubah, kita telah mendapatkan apa yang kita inginkan.


ENGAGEMENT (Elaine Magracia Wingardi)



Ketika anda merasa bahwa anda begitu menikmati apa yang sedang anda kerjakan, anda tidak ingat untuk makan, mandi, atau mungkin anda sadar bahwa sekian jam lalu adalah terakhir kali anda pergi ke kamar mandi untuk buang air, ataupun meminum sesuatu untuk melepaskan dahaga. Saat itulah anda sedang berada dalam kondisi work engagement. Work engagement adalah suatu kondisi dimana seseorang merasa memiliki keterikatan dengan aktivitas tugas yang sedang dikerjakan. Ketika anda merasa anda begitu menikmatinya, sampai anda juga tidak lagi tertarik untuk melirik jam dan mengetahui pukul berapa saat itu.
Itu berarti, anda sedang benar-benar hanyut dalam kondisi keterikatan anda dengan pekerjaan anda. "Engagement" sama seperti sepasang kekasih yang memasuki tahap pertunangan "engaged". Itu menandakan bahwa pasangan tersebut telah memiliki kecocokan dan memiliki keterikatan satu sama lain.
Dalam Psikologi Industri dan Organisasi (PIO), konsep work engagement dipelajari untuk menyatakan seberapa besar rasa keterikatan pegawai pada tugas-tugas kantor yang sedang dikerjakannya. Sudah pasti bila seorang pegawai memiliki work engagement, maka pasti ia akan merasa sangat menikmati dan tidak terbebani sama sekali selama proses penyelesaian tugasnya. Waktu tidak akan pernah menjadi masalah baginya, justru waktu akan terasa begitu cepat dan bahkan mungkin mereka akan merasa kekurangan waktu dalam pengerjaannya. Ada kemungkinan orang-orang ini justru akan berharap agar jarum jam tidak bergerak dengan cepat, karena mereka masih ingin mengerjakan tugas tersebut.
Work engagement tidak berarti hanya untuk pegawai kantoran, konsep ini bisa saja terjadi pada siapapun yang memiliki tugas-tugas favorit, termasuk saat mereka bermain games favoritnya. Seorang anak yang sedang asik bermain playstations biasanya enggan diganggu oleh orang lain. Work engagement akan muncul pada orang-orang yang memang merasa punya bakat dalam tugas atau pekerjaan yang akan mereka hadapi. Misalnya saja, seorang mahasiswa akan merasa sangat jenuh dan kesal apabila harus mengerjakan tugas portofolio yang mengharuskan mereka mengetik, mempelajari, dan membahas topik yang kurang mereka sukai. Kebanyakan mereka akan menunda-nunda tugas tersebut, dan merasa sangat tertekan saat harus menyelesaikannya. Bila memang harus sampai larut malam, tentu ia akan merasa sangat mengantuk dan ingin segera mengakhiri tugas tersebut. Mungkin mereka akan mengatakan "ya Tuhan, kuharap jarum jam berputar lebih cepat agar tugas ini segera kulewati". Namun mari dibandingkan bila misalnya saja mahasiswa tersebut memiliki bakat di dalam seni. Ketika ia harus menyelesaikan sebuah tugas kuliah, yang mengharuskannya menghias dan bersikap kreatif pada tugas tersebut, apalagi bila mahasiswa tersebut mendapatkan kesempatan untuk memasukan sentuhan seninya pada tugas tersebut, maka mahasiswa itu akan merasa bahwa tugas itu menyenangkan dan tidak sulit. Bagi mahasiswa ini, it doesn't matter bila mereka harus tidak tidur untuk menyelesaikan tugas tersebut dalam satu malam. Kebanyakan, justru mereka akan merasa tiba-tiba saja tugas mereka sudah selesai, sekalipun dalam satu malam, atau mungkin bahkan tidak tidur.
Work engagement di kantor akan memberikan banyak keuntungan pada diri pribadi karyawan sendiri dan tentunya perusahaan tempat mereka bekerja. Karyawan ini akan terlihat lebih happy di kantor, merasa seperti tidak ada beban di pekerjaan mereka, tugas-tugas juga akan selesai tepat waktu, atau mungkin lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukan. Biasanya mereka juga akan cenderung mudah disukai, karena biasanya akan selalu terlihat bersemangat dan ramah. Bagi karyawan ini, kepuasan kerja yang mereka dapatkan saat menyelesaikan tugas jauh lebih penting dibandingkan dengan berapa besar gaji yang di dapat. Perusahaan yang memiliki karyawan dengan work engagement yang tinggi tentu akan merasa puas dan tentu saja perusahaan juga dapat lebih maju dengan adanya karyawan yang memiliki komitmen kerja yang tinggi dengan tugasnya.
Jadi, berusaha untuk mencintai dan membangun keterikatan pada tugas yang kita hadapi, berada dalam kondisi work engagement, tentunya akan memberikan keuntungan untuk diri kita sendiri, selain membahagiakan dan mempermudah hidup kita dalam bekerja, tentunya juga dapat menyenangkan orang lain yang memang dapat mendefinisikan keuntungan mereka dari keterikatan orang lain.

 

ATTRACTIVE THEORY (Melissa Magdalena)



Pernahkah teman-teman merasa awalnya tidak tertarik dengan satu mata kuliah, namun karena dosen yang mengajar sangat baik dan menarik sehingga teman-teman menjadi menyukai mata kuliah tersebut dan berusaha maksimal saat ujian ?
Alangkah baiknya jika ini juga bisa diterapkan saat kita melakukan bisnis, mengubah sikap konsumen terhadap produk yang kita tawarkan sehingga membelinya. Atau juga diterapkan untuk berbicara pada karyawan agar dapat bekerja lebih efektif.

Tannenbaum (1956) mengatakan bahwa tingkat perubahan sikap berkorelasi dengan persepsi ketertarikan dari seseorang (change agent).

Dalam dunia bisnis, misalnya dalam bidang periklanan dan marketing, prinsip daya tarik ini sangat banyak digunakan untuk membuat konsumen mau membeli produk-produk mereka dengan cara mengubah penilaian (sikap) mereka terhadap produk yang ditawarkan. Seringkali mereka mempekerjakan orang yang memiliki daya tarik tinggi (seperti tubuh yang tinggi, cantik atau tampan) untuk memasarkan produk mereka pada konsumen. Kekuatan dari daya tarik si pekerja sebagai komunikator akan lebih berguna jika pesan yang ingin disampaikan tidak popular alias produknya belum terkenal. Akan tetapi, jika konsumen sebagai penerima pesan menemukan bahwa komunikator sengaja menggunakan atau mengeksploitasi daya tarik mereka maka kekuatan daya tarik itu akan berkurang atau bahkan tidak berguna lagi. Hal ini seperti yang dikatakan Mills and Aronson (1965) mengenai ketertarikan.

Besarnya pengaruh daya tarik seseorang dalam perubahan sikap juga sebagian dipengaruhi oleh stereotipe bahwa orang yang menarik secara fisik memiliki kepribadian atau karakteristik yang diinginkan secara sosial. Hal ini dapat dijelaskan dari penelitian Dion dan kawan-kawan (awal 1970-an) bahwa stereotipe kemenarikan fisik berpengaruh karena mereka dengan fisik yang lebih menarik dianggap memiliki kepribadian yang lebih baik dari yang lain.
Chaiken mengatakan bahwa komunikator yang dianggap lebih menarik mempunyai kesempatan yang lebih untuk memengaruhi orang lain dibandingkan dengan komunikator yang tidak menarik.

Jika ingin menjadi komunikator yang menarik, ada baiknya pula mengetahui bagaimana cara seseorang dapat dipengaruhi. Cacioppo dan Goldman (1981) menemukan Elaboration Likelihood Model . Ada dua cara atau jalan orang dapat dipengaruhi yaitu central route dan peripheral route.
Central route artinya pengaruh diberikan melalui pemberian argumen kepada penerima pesan. Central route ini lebih efektif untuk mempengaruhi orang yang mampu menganalisis informasi yang diberi dan tertarik secara intrinsik dengan topik yang dibahas. Sedangkan peripheral route artinya pengaruh diberikan dengan memfokuskan penerima pesan pada apa pun (termasuk daya tarik fisik komunikator) kecuali inti pesannya.

Pertanyaan di awal bab ini adalah Apakah komunikator yang menarik dapat mengubah pembuatan keputusan?
Salah satu mahasiswa kelas Psikologi Bisnis sudah memberikan jawabannya kepada saya, Daya tarik tidak dapat bekerja sendiri untuk mempengaruhi orang lain. Daya tarik perlu didukung dengan penguasaan materi pesan yang ingin disampaikan disertai cara penyampaian pesan yang baik.(Preston, 2013)

Bagaimana dengan jawaban teman-teman yang lain?