Kepemimpinan : Teori, Tokoh, dan Gaya Kepemimpinan (Priskila Putri Nesya Huwae)


Barack Obama, Bill Gates, Steve Jobs, dan Oprah Winfrey, nama-nama tersebut pasti sudah tidak asing lagi bagi kita. Tidak hanya dikenal di negara sendiri saja, mereka juga dikenal secara internasional. Mereka adalah sebagian dari tokoh-tokoh besar lainnya yang sudah terkenal sukses dengan kepemimpinannya. Tokoh-tokoh tersebut sukses memimpin banyak orang dalam bidangnya masing-masing, mulai dari memimpin perusahaan hingga memimpin suatu negara.
Hal ini menjadi menarik untuk diteliti, sebenarnya apa yang membuat seseorang dapat menjadi pemimpin yang sukses? Apakah karena faktor kekuatan, otoritas, karisma, atau faktor-faktor lainnya? Namun terlepas dari faktor-faktor tersebut, satu hal yang dapat dipastikan tentang pemimpin yang sukses adalah mereka berbeda. Pemimpin yang sukses memilliki perbedaan dengan pemimpin yang kurang sukses. Berdasarkan survey yang ada setidaknya ada tiga hal penting yang harus diperhatikan untuk menjadi seorang pemimpin, yaitu make a difference, empowering people, dan building leader.
Hal yang mendasar namun menarik untuk dipertanyakan adalah, mengapa pemimpin yang baik sangat dibutuhkan? Mengapa suatu instansi, perusahaan, bahkan negara berusaha mendapatkan pemimpin yang baik? Pertanyaan- pertanyaan tersebut bisa dijelaskan dengan sebuah penjelasan. Seorang pemimpin yang baik akan memberikan keuntungan kompetitif. Misalnya sebuah perusahaan memiliki pemimpin yang baik, maka perusahaan tersebut memiliki keuntungan karena pemimpinnya tidak bisa ditiru. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berbeda, yang memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Semua pembahasan tentang kepemimpinan ini bermula dari 3 penelitian awal, yaitu The Iowa Leadership Studies, The Ohio State Leadership Studies, dan The Early Michigan Leadership Studies. Salah satu yang penting untuk dipahami adalah The Iowa Leadership Studies. Secara garis besar studi ini membahas tentang gaya kepemimpinan. Disinilah muncul istilah otocratic, democratic, dan laizzez. Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa gaya kepemimpinan demokrasi lah yang paling efektif untuk diterapkan oleh seorang pemimpin. Namun, pada kenyataannya yang mempengaruhi keefektifan sebuah gaya kepemimpinan adalah adanya faktor situasi. Siapa yang tidak kenal Benito Musolini, dialah tokoh diktator dunia yang sukses lewat paham Fasisme-nya di Itali dan beberapa negara sahabatnya seperti Austria pada Perang Dunia II. Awalnya ia meniti karirnya sebagai pemimpin dengan penuh kerja keras, sampai pada suatu situasi di mana ia berhasil mendapakan jabatan dan bekerja sama dengan Adolf Hitler yang nyaris menundukan seluruh Eropa. Musolini dan Hitler menunjukan bahwa gaya kepemimpinan otoriter juga bisa berhasil dan tetap memiliki pengikut.
Setelah penelitian awal tersebut mulai muncul teori-teori tentang kepemimpinan, antara lain Traditional Theory. Di dalam tradisional teori terdapat beberapa teori kepemimpinan, salah satunya adalah Trait Theory. Teori ini menyatakan bahwa seorang pemimpin yang baik memang memiliki sifat pemimpin yang berada di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pemimpin yang baik memang terlahir dengan sifat seorang pemimpin. Namun yang dibahas dalam States & Skills Development jusru kebalikannya. Teori ini mengatakan bahwa ketrampilan yang dimilki oleh seorang pemimpin, seperti persuasif dan negosiasi, bisa dilatih. Jadi, untuk menjadi seorang pemimpin yang baik bisa dilatihan dengan mengembangkan ketrampilan-ketrampilan tertentu. Hal ini yang disebut sebagai building leader.
Selain Traditional Theory terdapat juga Modern Theory. Modern Theory inilah yang lebih kita kenal. Di dalam teori ini terdapat dua teori salah satunya yaitu, Charismatic Leadership Theory. Para pemimpin karismatik adalah pemimpin yang memiliki kelebihan untuk memberikan pengaruh kepada pengikutnya. Tokoh yang bisa disebut sebagai pemimpin yang berkarisma adalah Jokowi. Ia berhasil mendapatkan suara terbanyak sehingga menjadi gubernur Jakarta sekarang. Meskipun ia bukan warga ibukota tetapi ia tetap bisa memberikan pengaruh kepada para warga untuk memilih dirinya. Terlihat juga dari pengikutnya yang begitu banyak.
Banyak hal yang dapat digali tentang kepemimpinan, sehingga bisa ditemukan faktor-faktor yang lebih spesifik. Pemimpin yang baik diperlukan untuk memberikan manfaat yang positif bagi pengikutnya dan juga tempat ia bekerja. Sebagian orang mungkin terlahir sebagai pemimpin, namun bukan berarti yang lain tidak bisa belajar untuk menjadi pemimpin yang baik.


Power in the workplace (Carnesya Hergiani)



Power adalah kapasitas seseorang, tim atau organisasi untuk mempengaruhi orang lain. Dengan adanya power atau kapasitas dari seseorang, orang lain dapat dengan mudah percaya dan mengikuti apa yang dikatakannya.
Di dalam Power, terdapat 5 macam jenis-jenis power: Yang Pertama adalah legitimate power, power jenis ini adalah power dimana dimiliki pada orang-orang yang memiliki jabatan formal. Legitimate power biasa terjadi pada organisasi, dimana bawahan selalu mengikuti apa yang dikatakan oleh atasan. Karena atasannya memiliki power atau kapasitas kepada bawahannya. Sehingga membuat bawahannya mau tidak mau harus mengikuti kepada atasannya. Contohnya adalah antara manager dengan staff. Staff tentu akan mengkiuti arahan dari manager. Karena managernya memiliki power atas staffnya. Staff mengikuti dan percaya pada managernya karena apabila tidak mengikuti, mungkin managernya mampu melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh staff. Sehingga staff mau tidak mau mengikuti kemauan dari manager.
Yang Kedua adalah Reward Power. Reward power adalah power untuk memberikan reward. Dengan reward ini dapat membuat orang lain untuk mengikuti kemauannya. Contohnya saja adaalah apabila manager memiliki reward power. Ia akan memberikan reward atau hadiah atau bonus kepada staffnya. Misalnya saja reward berupa kenaikan jabatan yang tentunya kenaikan gaji. Sehingga staffnya mengikuti semua perintah dan aturan dari managernya untuk mendapatkan reward tersebut. Hal ini dapat terjadi, karena staffnya mengetahui bahwa managernya memiliki kapasitas untuk menaikan jabatan seseorang. Inilah yang membuat manager memiliki power terhadap staffnya.
Ketiga adalah corecive power. Coercive power adalah power dimana seseorang sesorang atau organisasi tertentu memiliki kapasitas, untuk memberikan punishment (hukum) kepada orang lain. Contohnya adalah pemerintah. pemerintah memiliki power jenis ini. Pemerintah memiliki kapasitas memberikan hukuman bagi yang melanggar hukum atau yang tidak mengikuti aturannya. Sehingga masyarakat dipaksa untuk mengikuti aturan pemerintah, karena pemerintah memiliki coercive power, yang membuat masyarakat takut untuk mendapatkan hukuman apabila tidak menjalankan aturan pemerintah.
Keempat adalah expert power. Expert power dimana seseorang memilikinya, karena dia ahli dalam suatu bidang. Sehingga orang yang tidak ahli (awam) pada bidang tersebut dapat percaya dan dengan mudah mengikuti apa yang dikatakan orang ahli tersebut. Contohnya saja dokter kulit. Dokter kulit adalah orang yang ahli dan paling mengerti mengenai kulit dan masalahnya. Sehingga ketika seseorang mengalami masalah kulit, dia akan konsultasi ke dokter kulit. Karena dia menganggap dokter kulit pasti dapat mengatasi masalahnya. Orang tersebut juga tentu akan mengikuti anjuran dokter, karena ia percaya bahwa anjuran tersebut adalah solusi terbaik dari masalah kulitnya.
Terakhir adalah referent power adalah power dimana yang memilikinya adalah orang yang dihargai, digemari dan dihormati orang lain. Orang lain yang menghormatinya adalah orang yang mengenal mereka luar dan dalam. Contohnya saja orang tua. Setiap anak sewajarnya adalah mengenal orang tua mereka luar dan dalam. Apabila orang tua berprilaku baik hingga membuat anak mereka menghormati mereka. Maka orang tua tersebut memiliki power terhadap anak mereka. Dengan adanya power ini pada orang tua, maka orang tua akan lebih mudah mendekati dan menasehati anak mereka.
Contoh lain yang memiliki referent power adalah artis. Artis memiliki power ini terhadap para penggemarnya. Para penggemar fanatik tentunya akan mencari tahu, kehidupan idolanya. Bahkan mereka terkadang selalu update dengan jadwal sehari-hari idolanya. Sehingga meskipun idola mereka tidak sedang on- air, mereka bisa mengetahui aktivitas dari idola mereka. Tak jarang pula bahwa para artis melakukan acara bersama para penggemar. Itu dapat membuat para penggemar mereka, mengetahui idola mereka luar dan dalam. Power itu terlihat ketika para penggemar sangat menghormati idolanya, mengikuti semua gaya idola mereka dan tak jarang ketika artis tersebut tertimpa masalah. Maka para penggemar akan turut merasakan masalah idolanya. Bahkan jika idola mereka bermasalah dengan artis lain, maka para penggemar akan sangat membenci orang yang bermasalah dengan idolanya. Ini memperlihatkan bahwa idola tersebut memiliki power terhadap penggemar fanatiknya.
Jadi, menurut saya setiap orang tentunya perlu memiliki power. Agar tidak selalu bergantung kepada orang lain.


Pemimpin yang hebat itu punya bakat bawaan, benarkah? (Abi Dinda Permata Sari)



Dalam kehidupan berorganisasi, sangat familiar dengan seorang yang bernama pemimpin. Banyak macam tipe dari pemimpin yang ada. Namun, ada pula yang bertanya-tanya bagaimana cara untuk menjadi pemimpin yang baik. Tidak jarang kita mendengar orang ketika diminta untuk memimpin mengatakan bahwa ia tidak memiliki bakat dari lahir sebagai pemimpin yang hebat. Apakah benar kemampuan yang dibawa dari lahir berpengaruh tunggal pada seorang dengan kemampuan memimpinnya bagus dan benar? Dalam mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi semester ini, dosen pengampu menjelaskan tentang bagaimana proses seorang pemimpin, apa saja yang harus disiapkan dan dipelajari untuk menjadi seorang pemimpin. Untuk itu saya membuat tulisan singkat ini untuk menjelaska kembali bagaimana seorang untuk menjadi pemimpin yang baik berdasarkan ilmu yang saya dapat dari materi dalam kelas.
Pada saat seseorang terlahir, memang sudah ada kemampuan yang ia bawa, hal ini yang sering kali menjadi salah persepsi, orang mengatakan bahwa mereka tidak memiliki bakat sejak lahir sehingga mereka hingga kapanpun, mereka tidak mampu menjadi pemimpin yang baik. Pada kenyataannya, hanya beberapa hal yang dipengaruhi oleh genetik, seperti beberapa sifat pada teori The Big Five, contohnya extraversion. Pada teori tersebut, kelima hal tersebut biasa disebut dengan trait. Trait adalah suatu keadaan yang tidak dapat dipelajari, biasanya hal ini relatif menetap pada diri seseorang. Berbeda halnya dengan yang disebut state, hal-hal yang ada pada positive psychology seperti optimism, hope, resilience, emotional intelligence termasuk dalam state, dimana ini adalah suatu keadaan dimana orang dapat mempelajarinya. Hal ini lah yang seiring dengan perjalanan waktu perlu dipelajari oleh seorang pemimpin. Ketika seorang pemimpin mampu mengelolah dirinya dengan baik, tentu orang yang bekerja dibawahnya menjadi lebih baik dalam bekerja.
Disamping mengembangkan dirinya dari dalam, seperti kemampuan mengelola emosi, resiliensi, dan hal-hal lainnya, seorang pemimpin juga harus mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan yang menunjang dirinya sebagai seorang pemimpin seperti pengetahuan akan tugas-tugas, pemecahan masalah yang kreatif, komunikasi yang baik, pengaturan waktu, pembuatan keputusan, bagaimana caranya mempengaruhi dan bernegosiasi dengan orang lain. Inilah yang sangat penting dikembangkan, karena seorang pemimpin selain harus mampu berhubungan baik dengan bawahannya, ia juga harus bisa menjalin hubungan baik dengan lingkungan kerjanya diluar itu. Jika tidak, akan sengat sulit ketika seorang pempimpin tidak mempelajari state dan kemampuan yang dibutuhkan tersebut karena tiap hal dari poin-poin tadi memberikan kontribusi sama penting ketika seorang menjadi seorang pemimpin. Ambil satu contoh jika seorang pemimpin tidak mengembangkan resiliensi dan tidak mampu mempelajari bagaimana membuat keputusan yang kreatif. Ketika seorang pemimpin resiliensi yang kuat, ia akan mudah sekali runtuh ketika memiliki masalah dan ia tidak akan mampu untuk bangun kembali dari masalah tersebut, ketika ia dalam membuat keputusan tidak tepat, dan ia memiliki resiliensi yang rendah, saat muncul masalah dari hasil keputusan yang ia buat, ia tidak akan mampu bertahan dan bangkit serta memikirkan solusi lagi karena ia tidak memiliki resiliensi yang baik, setelah ia jatuh dalam masalah, akan sangat sulit untuk bangkit lagi. Untuk itu kedua hal ini sangat penting, sama seperti hal lainnya yang juga telah disebutkan sebagai faktor yang saling berkaitan dalam mempengaruhi dan membentuk pemimpin yang baik.
Sementara itu, dalam bekerja bersama orang lain, tidak selalu semua orang menyukai cara kita bekerja, selalu ada kelompok didalam dan diluar. Dimana kelompok orang yang mendukung adalah orang yang melihat sisi baik dari tiap pekerjaan, namun ada juga kelompok yang selalu mencoba menjatuhkan pemimpinnya sendiri, untuk itu juga diperlukan mental yang kuat untuk seorang pemimpin dalam sebuah organisasi yang sudah jelas dalam hal ini mengatur banyak orang. Dan bagaimana pula seorang pemimpin harus dengan baik untuk tetap obyektif meski mengetahui orang mana saja yang mendukung, dan mana yang selalu mencoba menjatuhkan. Hubungan baik dengan sesama rekan kerja dan bawahan juga harus dipikirkan dengan baik oleh seorang pemimpin agar anggotanya tidak merasa bekerja sendiri, dan mereka bekerja sama untuk hasil yang lebih maksimal. Disinilah peran pemimpin juga sangat dibutuhkan.
Dari semua pembahasan terlihat bahwa kepemimpinan yang baik tidak hanya dipengaruhi oleh genetik, namun semua adalah proses belajar, tidak ada orang yang buruk untuk menjadi seorang pemimpin asalkan dia mau belajar. Karena sebenarnya untuk menjadi pemimpin yang baik hanya dibutuhkan kemauan untuk terus belajar meski telah memiliki posisi yang tinggi. Hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah hanya beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menjadi pemimpin yang baik. Ketika seseorang mampu mengembangkan dengan baik dirinya, orang tersebut akan menjadi pemimpin yang hebat nantinya asalkan ia terus belajar.


Memahami Job Satisfaction (Cardia Ivana)



Job satisfaction atau kepuasan kerja merupakan istilah yang sudah pasti tidak asing terdengar dalam dunia industri dan organisasi. Tanpa memahami secara mendalam, kebanyakan orang memang sudah mengetahui bahwa kepuasan kerja seseorang bisa mempengaruhi efektivitas dan produktivitas kinerja orang tersebut. Namun pengetahuan ini akan sekadar menjadi informasi yang sia - sia apabila kita bahkan tidak mengerti konsep dari kepuasan kerja itu sendiri. For starter, we could start by stretching the operational definition for the term Job Satisfaction itself. Dari buku Industrial/Organizational Psychology: Understanding The Workplace karya Paul E. Levy, saya mendapatkan pemahaman bahwa kepuasan kerja merupakan suatu keadaan yang secara psikologis menyenangkan dan positif, yang berasal dari pandangan seseorang terhadap pekerjaan yang ia miliki dan jalani. Kepuasan kerja kita ditentukan dari persepsi kita akan pekerjaan kita: apakah pekerjaan yang kita jalani saat ini memenuhi kebutuhan badaniah dan batiniah kita?
Sulit bagi kita untuk memahami hal ini apabila konsep yang kita miliki masih terlalu abstrak. Kita perlu memahami bahwa ada faktor - faktor yang dapat membawa kita untuk meraih kepuasan kerja: karakteristik pekerjaan kita, karakteristik kepribadian dan pembawaan kita, faktor sosial di lingkungan kerja, dan peluang/kesempatan kita untuk to be better melalui pekerjaan ini (growth opportunity).
Bayangkan jika anda bekerja dalam suatu organisasi untuk suatu pekerjaan yang tidak jelas (baik struktur maupun tujuan pekerjaan tersebut), bukan hanya task identity yang ambigu, anda juga tidak diberikan otonomi untuk mengatur pekerjaan tersebut. Tentunya keadaan ini tidak kondusif bagi produktivitas kinerja anda. Karakteristik pekerjaan yang tidak terstruktur serta keterbatasan dalam berkarya tentu membuat kita merasa bahwa pekerjaan kita tidak signifikan bagi perusahaan. Somehow we come to feel that the job we do doesnt matter that much. Hal ini akan membuat kita merasa tidak ada full-responsibility terhadap pekerjaan kita.
Bukan hanya karakteristik pekerjaan, namun karakter diri kita sebagai pekerja juga dapat mempengaruhi kepuasan kerja kita. Beberapa karakteristik diri seperti bagaimana cara kita memandang dan merespon terhadap daily events atau penghargaan kita terhadap diri sendiri dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Apabila kita memandang diri kita sendiri valuable (berharga) bagi perusahaan, maka kita biasanya akan lebih optimis dalam menjalani pekerjaan kita, of which leads us to a better satisfaction in doing the job.
Relasi kita dengan sesama rekan kerja, baik itu mereka yang menjabat posisi di atas maupun di bawah kita, juga berperan dalam menentukan kepuasan kerja. Atmosfir lingkungan kerja yang sehat dan interaksi positif dengan orang-orang yang ada dalam lingkungan kerja dapat meningkatkan kepuasan kerja kita. Betapa menyenangkan apabila kita memiliki pemimpin/atasan yang dapat membina namun tetap membuat kita merasa dihargai serta memperlakukan pekerja dengan adil (organizational justice) tentu kita akan merasa senang bekerja di bawah pimpinan orang tersebut. Kita juga pasti akan merasa lebih puas jika rekan-rekan kerja kita saling mendukung dan pleasant or amicable to work with. Kondisi lingkungan kerja yang kondusif mempengaruhi persepsi kita akan pekerjaan kita. Bekerja dengan orang-orang yang saling menjatuhkan dan tidak menghargai tentu menciptakan stressful working situation yang dapat menurunkan tingkat kepuasan kerja.
Kepuasan kerja akan menjadi maksimal saat kita merasakan bahwa ada peluang bagi kita untuk bertumbuh menjadi lebih baik (growth opportunities). Stagnasi dalam bekerja bisa sangat membosankan, no one wants to tread water for so long. Growth opportunities yang rendah yaitu saat kita tidak pernah mendapat reward untuk apapun yang kita kerjakan dan pekerjaan menyita tidak hanya waktu namun juga kehidupan kita. Lakukanlah pekerjaan yang dapat membuat kita merasa bahagia or at least not stressed. Ketahui bahwa kepuasan kerja tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal lingkungan namun juga faktor internal diri. Kepuasan kerja yang rendah akan membuat performa kerja kita menurun yang biasanya ditunjukkan dengan keterlambatan, sikap pasif dan apatis, juga produktivitas kerja yang rendah. Therefore it is prominent that we understand this concept well so we could work effectively yet maintain a good level of job satisfaction.


Organizational Commitment (Lisa Febriani)



Komitmen memiliki peranan penting terutama pada kinerja seseorang ketika bekerja, hal ini disebabkan oleh adanya komitmen yang menjadi acuan serta dorongan yang membuat mereka lebih bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Namun kenyataannya, banyak organisasi dan perusahaan yang tidak terlalu mementingkan dan memperhatikan komitmen karyawannya sehingga hasil kinerja yang mereka hasilkan pun tidak maksimal. Seharusnya, komitmen dalam organisasi itu harus dideteksi sejak awal mula dalam seleksi karyawan. Karena dengan diketahui lebih awal, perusahaan akan mengetahui komitmen para karyawannya dan perusahaan pun akan mampu menyeleksi beberapa karyawan yang mungkin akan mampu memberikan kinerja yang baik, atau yang tidak baik.
Komitmen organisasi adalah penilaian seorang karyawan terhadap organisasinya, keputusan inilah yang menentukan apakah seorang karyawan tersebut tetap berada di perusahaan itu atau keluar dari perusahaannya. Ada tiga jenis komponen dalam komitmen organisasi yaitu affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. Affective commitment adalah seseorang yang memiliki ikatan emosional dengan organisasinya. Seseorang yang memiliki affective commitment, merasa bahwa ia tetap tinggal di dalam organisasinya itu karena memang ia menyukai tempat kerjanya atau pekerjaannya saat ini, dan ia memang ingin mengluarkan kinerja yang maksimal di dalam perusahannya. Contohnya adalah salah satu seorang pekerja seni, dalam sehari-hari memang ia memiliki tingkat humor yang tinggi untuk menghibur orang orang disekitarnya, dan saat ini ia bekerja sebagai komedian di salah satu perusahaan televisi swasta. Dalam menjalankan pekerjaannya, ia sangat senang, dan ia pun dapat mengembangkan lebih baik untuk dapat menghibur orang banyak. Tingkat kinerjanya pun sangat baik, terbukti karena acara televisi yang dibawakannya itu mendapat rating yang tinggi.

Komponen kedua dalam komitmen organisasi adalah continuance commitment. Seseorang yang memiliki continuance commitment, memiliki persepsi mengenai biaya dan resiko jika ia meninggalkan organisasinya saat ini. Seseorang yang memiliki continuance commitment akan menghitung-hitung jika ia keluar dari perusahaannya saat ini, apakah ia akan mampu untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dari perusahaan sebelumnya atau tidak, sehingga dengan persepsi inilah, maka ia tidak akan tetap tinggal dan bekerja pada peruhaannnya itu. Contohnya adalah saudara perempuan saya, ia saat ini sedang bekerja di salah satu bank swasta, ia sudah bekerja selama satu tahun di bank ini. Sebenarnya, ia tidak menyukai pekerjaannya karena terlalu banyak aktivitas yang mengharuskannya untuk menambah jam kerjanya hingga larut malam. Ia ingin keluar dan mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak waktu untuk bekerja, tetapi ia takut dan tidak ingin keluar dari bank tersebut, karena ia berfikir jika ia keluar, maka penghasilan yang ia terima tidak akan lebih tinggi dari penghasilan yang ia dapatkan di bank swata ini. Akhirnya ia tetap memutuskan untuk tinggal dan bekerja pada perusahaan ini.
Komponen ketiga dalam komitmen organisasi adalah normative commitment. Seseorang yang memiliki normative commitment, merasa mempunyai kewajiban secara psikologis dan tanggung jawab pada organisasi yang mempekerjakannya atau memang seseorang itu terlibat dalam suatu kontrak di suatu perusahaan. Contohnya adalah teman laki-laki saya. Saat ini ia bekerja di bank swasta di Jakarta. Ia masuk di bank tersebut karena dibantu oleh salah satu saudaranya merupakan salah satu pimpinan dalam bank tersebut, dan saat ini ia sudah bekerja selama 6 bulan di bank itu. Dalam menjalankan pekerjaanya, ia merasakan banyak tekanan karena menurutnya teman-teman kerjanya itu tidak saling mendukung dan merasa saling menjatuhkan. Tetapi ia tidak mampu untuk meninggalkan bank tersebut, karena ia merasa segan pada saudara yang memasukkannya di bank itu dan ia pun merasa mempunyai kewajiban untuk bekerja dengan baik di bank itu karena takut mencoret nama baik saudara yang membantunya untuk masuk di bank itu, serta ia pun sudah terikat kontrak selama satu tahun. Hasilnya adalah, ia tetap menetap dalam perusahaan itu.