RESILIENSI (Marcel Stanley)


Apa yang membuat penulis ingin membahas Resiliensi, walaupun masih banyak hal-hal yang lainnya yang tidak kalah pentingnya dengan resiliensi? Penulis ingin membahas resiliensi karena pada zaman sekarang ini, banyak karyawan-karyawan yang menghadapi risiko stress, perubahan teknologi, downsizing, burnout, dll. Resiliensi merupakan faktor yang sangat diperlukan yang dapat memutar hal-hal seperti stress, downsizing, dan burnout menjadi hal-hal yang dapat mengembangkan kemampuan individu untuk berubah. Oleh sebab itulah, Resiliensi tidak hanya diperlukan oleh karyawan-karyawan saja, tetapi juga seluruh manusia dimuka bumi ini.
Biasanya ketika kita mendengar resiliensi, arti resiliensi yang pertama kita persepsikan adalah kemampuan individu untuk memecahkan masalah. Tetapi, Resiliensi bukan hanya sekedar mampu memcahkan masalah. Resiliensi berarti kemampuan untuk bounce back (kembali kedalam keadaan seperti semula) dari segala kesengsaraan, konflik dan hal lain yang menganggu seorang individu. Maksud dari kata-kata bounce back ini adalah bukan hanya kembali kedalam keadaan semula, tetapi seorang individu tersebut juga mampu menyelesaikan masalahnya dan merasa masalah tersebut selesai. Karena bila seorang individu hanya kembali kedalam keadaan mentalnya seperti semula, tetapi tidak menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, masalah tersebut bisa muncul kembali kapan saja dan individu akan kembali merasakan stress akan masalah tersebut. Sama saja seperti ia menyimpan bom waktu didalam dirinya, yang bisa meledak kapanpun dan dimanapun.
Ada 2 kriteria yang harus dimiliki oleh resiliensi. Yang pertama adalah resiliensi harus memiliki hasil yang positif dari kemampuan adaptasi individu, maksudnya adalah resiliensi merupakan usaha individu untuk beradaptasi dengan masalahnya dan mampu memecahkan masalah tersebut. Seseorang tidak dapat dikatakan memiliki resiliensi bila hanya mampu beradaptasi tanpa mampu memecahkan masalahnya (menghasilkan hal yang positif). Kriteria yang kedua adalah bahwa Resiliensi merupakan hasil dari adaptasi individu dari sebuah masalah besar yang telah dipecahkan atau diselesaikan oleh individu tersebut. Bila tidak ada masalah besar yang dihadapi oleh individu, individu tersebut tidak bisa dikatakan memiliki Resiliensi yang baik.
Resiliensi biasanya dipengaruhi dan berkembang karena adanya 3 faktor. Apa sajakah faktor-faktor tersebut? Faktor yang pertama adalah assets. Assets adalah karakteristik atau situasi yang biasanya terdapat didalam beberapa orang yang berada didalam kelompok, yang dapat memprediksi hasil positif yang dapat dicapai oleh individu-individu tersebut dengan kriteria-kriteria pencapaian yang spesifik. Resiliensi individu dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan assets yang telah dimiliki orang tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah cara untuk meningkatkan asset? Cara meningkatkan asset salah satunya adalah dengan pelatihan-pelatihan yang diajarkan kepada individu-individu tersebut. Individu dapat mengikuti training, atau edukasi-edukasi yang diberikan oleh ahli-ahli HRD. Faktor yang kedua yang dapat mempengaruhi resiliensi adalah Risk Factor. Tetapi sebelum mengetahui apa itu Risk Factor, kita harus mengetahui apakah yang dimaksud dengan risk. Risk adalah kemungkinan-kemungkinan hal-hal yang tidak baik akan terjadi. Sedangkan Risk Factor adalah karakteristik atau situasi yang biasanya terdapat didalam beberapa orang yang berada didalam kelompok, yang dapat memprediksi hasil negatif yang dapat dialami oleh individu-individu tersebut dengan kriteria-kriteria yang spesifik. Risk Factor ini dapat di kurangi dengan cara merawat dan menjaga fisik dan psikologis individu agar tetap sehat. Faktor yang terakhir yang dapat mempengaruhi resiliensi adalah Proses Adaptasi. Proses Adaptasi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi didalam situasi dan kondisi yang berbeda. Proses adaptasi dapat ditingkatkan dengan cara mengembangkan kapasitas-kapasitas positive psychology seperti self-efficacy, manajemen stress, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Dengan meningkatnya proses adaptasi yang dimiliki oleh individu, maka otomatis resiliensi yang dimiliki oleh individu tersebut akan meningkat pula.


OPTIMISM AND PERFORMANCE (Cecilia Octaviani)



Kecenderungan individu adalah bertanya-tanya mengenai apa yang salah dengan sesuatu kejadian/hal spesifik, tanpa melihat apa yang benar pada hal spesifik tersebut. Hal ini membuat ketimpangan, sehingga untuk mengatasinya, dibuatlah konsep psikologi positif. Pada PIO, konsep dan teori mengenai psikologi positif digunakan untuk melihat konstruk apa yang dapat meningkatkan produktivitas, motivasi kerja, work engagement, job satisfaction, dll dalam diri pekerja. Beberapa konstruk yang berkaitan adalah self-efficacy, optimism, hope, dan resiliency. Pada bagian ini, saya lebih berfokus untuk membahas hubungan antara optimism dengan performance kerja.
Ada dua sudut pandang mengenai konsep optimism. Pertama, optimisme didefinisikan sebagai keyakinan yang menggiring dalam meraih harapan yang telah kita tentukan. Dalam hal ini, optimism terjadi karena individu expect good thing to happen with themselves. Pada kehidupan sehari-hari, hal pertama yang seharusnya dilakukan oleh tiap individu beragama yang memiliki iman adalah berdoa. Dalam doa, yang kita ucapkan adalah rasa syukur atas nafas pagi yang baru, dan harapan kita untuk menjalani hari dengan lancar dan baik. Dengan melakukan doa sebelum menjalani hari, hal tersebut menjadi tanda bahwa kita optimis dalam menjalani keseharian, karena kita berekspektasi dan berharap bahwa hari kita akan baik dan lancar.
Pada bidang industri, seorang pekerja dapat memiliki tingkat optimisme yang tinggi dalam menyelesaikan tugasnya. Hal tersebut dapat dikarenakan mereka menginginkan hasil kerjanya dapat dibanggakan oleh atasan, tidak lembur bekerja hingga larut malam, menunjukkan potensi kerjanya dalam kaitannya untuk meminta promosi kerja, dan sebagainya. Ketika seorang pekerja memiliki tingkat optimisme yang rendahpesimis, kecenderungannya adalah mereka akan berpikir bahwa mereka tidak mampu mengerjakan tugas yang telah diberikan, bergantung kepada orang lain, dan kegiatan perform dalam kinerja menurun. Dapat dilihat bahwa memang benar, optimisme berpengaruh besar terhadap performance kerja seorang karyawan.
Konsep kedua, bahwa persepsi mempengaruhi tingkat optimisme seseorang. Hasil dari persepsi memberikan perbedaan sudut pandang dalam melihat sebuah kejadian. Ketika terjadi suatu kejadian buruk, orang dengan kecenderungan pesimis akan menyalahkan dirinya sendiri, berpikir bahwa kejadian buruk tersebut akan berlangsung berlarut-larut, dan berpengaruh terhadap setiap aspek dalam kehidupannya, sehingga tidak ada kinerja atau potensi yang dikeluarkan. Pada kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan individu yang kecenderungannya menyalahkan dirinya sendiri dan menganggap dunia runtuh apabila terjadi suatu kejadian yang buruk. Misalnya, anak SMA yang bunuh diri dengan lompat ke kali Cisadane, Tangerang, karena tidak lulus ujian nasional. Sudut pandang yang digunakan pelaku bunuh diri ini adalah pesimisme, walaupun sebenarnya ada pilhan-pilihan lain yang dapat diambil selain bunuh diri, misalnya mengambil paket C ujian nasional.
Sebaliknya, orang yang memandang kejadian buruk sebagai hal yang biasa, terjadinya hanya sesaat dan dalam hal-hal spesifik, melihat kesulitan sebagai sebuah tantangan dalam mencapai suatu prestasi. Sehingga, perilaku yang muncul adalah semakin termotivasi dan optimis dalam mengejar prestasi. Pada konsep kedua ini, sikap optimisme dan pesimisme yang muncul akibat perbedaan persepsi ada pengaruhnya terhadap tingkat kemampuan resiliensi yang berbeda antar tiap individu. Pada kehidupan nyata, kita dapat menemukan sikap optimisme pada diri sosok entrepreneur Bob Sadino. Beliau pernah sangat amat bangkrut, tetapi pada kenyataannya beliau tetap optimis, terus perform dan menjalankan usahanya, sehingga bisa sukses seperti sekarang ini.
Pada bidang industri, perbedaan persepsi terhadap sebuah kejadian juga mempengaruhi tingkat optimisme pekerja. Ketika dimarahi oleh atasan karena pekerjaan yang dibuat kurang benar, orang dengan kecenderungan pesimis akan menyalahkan dirinya, menganggap dirinya kurang mampu, sedih berkelanjutan, menimbulkan stress kerja, dan bahkan ekstrimnya meminta resign. Orang yang mengalami hal tersebut diatas pastilah menurunkan performance kerjanya, karena fokusnya terganggu untuk selalu memikirkan omelan atasannya tersebut. Tetapi lain halnya dengan orang yang optimisnya tinggi. Ketika dimarahi karena pekerjaannya kurang benar, orang dengan kecenderungan optimis akan percaya diri bahwa dirinya dapat bekerja lebih baik lagi dengan mempelajari kesalahannya, membenarkan, dan tidak mengulanginya kembali, sehingga performance kerjanya meningkat.
Pada pembahasan diatas dapat kita lihat bahwa memang benar, kedua konsep optimisme mempengaruhi kinerja dan performance kerja secara signifikan. Diharapkan dari pembahasan ini, karyawan pada bidang industri lebih dapat mengusahakan untuk menumbuhkan optimisme dalam diri sehingga hasil dari kinerja dapat tersalurkan secara maksimal.


Kepemimpinan Transformasional (Melinda Widjaja)



Walaupun topik ini berjudul kepemimpinan transformasional, tetapi sebenarnya ada dua tipe kepemimpinan yang dibahas, yaitu kepemimpinan transformasional dan transaksional. Kedua jenis kepemimpinan tersebut sangat berbeda. Menurut J.M. Burns, kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang bertujuan untuk mengubah status quo (keadaan yang saat ini berlangsung) dengan cara menyampaikan kepada para pengikutnya masalah yang ada dalam sistem saat ini dan meyakinkan para pengikut dengan visi apa yang dapat dilakukan oleh organisasi dengan perubahan baru tersebut. Pemimpin transformasional memiliki caranya sendiri yang menarik untuk menyampaikan visi yang ia miliki, sehingga para pengikutnya merasa tertarik untuk mendukung visi yang pemimpin tersebut berikan untuk diwujudkan.
Kebalikan dari kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional berusaha untuk menjaga stabilitas organisasi melalui pertukaran ekonomi dan sosial secara rutin untuk mencapai tujuan tertentu bagi pemimpin dan pengikutnya. Pertukaran merupakan hal yang sangat ditekankan dalam kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional meliputi pertukaran valued benefits yang didasari pada nilai-nilai atau value yang telah ada dan motivasi dari pengikut dan pemimpin, yang berarti kepemimpinan transaksional berkisar pada LMX (leader-follower exchange), dimana pemimpin memberikan reward dan punishment ada karyawan.
Para peneliti menemukan bahwa kepemimpinan transformasional berhubungan secara positif dengan kinerja pelayanan karyawan, komitmen organisasional,dan kepuasan kerja. Dalam studi lain, peneliti juga menemukan bahwa para karyawan dengan supervisor yang memiliki kepemimpinan transformasional tinggi mengalami emosi yang lebih positif sepanjang hari kerja, termasuk interaksi dengan rekan kerja dan pelanggan, juga mengalami peningkatan dalam kepuasan kerja. Dalam level kelompok, ditemukan bahwa kepemimpinan transformasional dapat mempengaruhi performa dan potensi kelompok. Dalam level organisasi, kepemimpinan transformasional dapat mengubah iklim dan budaya organisasi. Sejumlah studi telah menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan terhadap pembelajaran organisasi.
Bila dilihat dari hasil penelitian di atas, sepertinya terlihat bahwa kepemimpinan transformasional lebih baik daripada kepemimpinan transaksional. Tetapi, seorang pemimpin yang efektif harus mampu melaksanakan kedua gaya kepemimpinan tersebut. Di dalam situasi dimana perusahaan sedang stabil dan tidak membutuhkan perubahan yang besar, pemimpin transaksional dibutuhkan untuk menjaga stabilitas perusahaan. Di situasi yang genting, misalnya situasi dimana sebuah perusahaan terancam bangkrut, tentu pemimpin yang transformasional dibutuhkan untuk membuat perubahan yang positif. Biasanya, situasi yang genting melahirkan seorang pemimpin yang transformasional.


ORGANIZATIONAL COMMITMENT (Florentia Novita)



Komitmen organisasi merupakan suatu bentuk sikap mengenai keterkaitan hubungan antara karyawan dengan perusahaan atau organisasi mencakup peran yang dimiliki oleh seorang karyawan dalam pencapaian tujuan sebuah perusahaan yang sudah disepakati dan ditentukan sebelumnya. Biasanya komitmen organisasi sangat berhubungan erat dengan pengoptimalan kinerja karyawan, karena dengan adanya sebuah komitmen dapat saja menjadi dorongan pada karyawan untuk menjalani kewajibannya secara maksimal. Seharusnya perusahaan turut memperhatikan juga memprioritaskan komitmen atau loyalitas karyawannya, karena jika komitmen karyawan akan perusahaan tinggi maka karyawan tersebut dapat memberikan peran aktif yang maksimal untuk efektivitas sebuah perusahaan.

Komitmen organisasi memiliki tiga komponen:
Yang pertama adalah, continuance commitment, komitmen seseorang untuk tetap stay dalam perusahaan tempatnya bekerja, karena takut dan khawatir dengan resiko-resiko yang ada jika ia keluar dari tempatnya bekerja, bisa juga takut dengan biaya-biaya yang ditanggung nantinya setelah ia keluar. Biasanya orang yang memiliki komitmen ini memiliki kekhawatiran yang tinggi dengan segala resiko yang akan ditanggung mengenai pilihannya untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, serta takut jika di tempat yang baru tidak bisa mendapatkan apa yang ia dapatkan selama ia bekerja di perusahaannya saat ini bisa saja mencakup tunjangan-tunjangan, bonus tahunan, atau fasilitas yang lain yang cukup nyaman. Walaupun sebenarnya reward dan feedback yang diberikan perusahaan tidak begitu tinggi atau mungkin mengalami peningkatan tapi hanya sedikit-sedikit. Ada suatu contoh nyata dari orang disekitar saya, ia bekerja di salah satu bank swasta, sejak bank itu bekerja sama dengan salah satu Negara luar maka sistem dan aturannya perusahaan itu pun berubah, bonus tahunan serta kenaikan gaji berdasarkan penilaian dan produktivitas karyawan, jadi jika penilaian karyawan kurang baik maka kenaikan gaji pun hanya sepersekian persen. Perusahaan tersebut tetap memberikan tunjangan-tunjangan seperti pada awal komitmen perusahaan, memang cukup banyak tunjangannya, akan tetapi lama kelamaan tekanan pun kerap dirasakan karena ada penilaian dan produktivitas tersebut. Walaupun begitu, orang tersebut tidak cukup memiliki keberanian untuk keluar dari perusahaannya sekarang dikarenakan sudah bertahun-tahun bekerja dan memiliki hubungan yang baik dengan atasan, serta cukup puas dengan berbagai tunjangan yang ada meski kenaikan gaji hanya sedikit akan tetapi tidak menjadi persoalan baginya karena ia merasa sudah ada di zona nyaman seorang karyawan. Padahal nyatanya resultnya tidak sesuai dengan reward yang ia peroleh.

Yang kedua adalah, affective commitment, komitmen ini merupakan komitmen untuk tetap stay di perusahaan karena ada suatu keterlibatan emosi dengan perusahaan tempat ia bekerja, sudah cinta dengan pekerjaan dan jabatan serta seluruh lingkup perusahaannya sehingga ia memilih untuk tetap stay. Orang yang memiliki komitmen ini akan cenderung memaksimalkan kinerjanya dan mengaktifkan perannya dalam mencapai tujuan perusahaannya, disebabkan karena ia terlanjur nyaman dengan semua yang ada di dalam perusahaannya, tetapi yang terutama adalah keterlibatan emosi dengan orang-orang yang ada di perusahaan tersebut, sehingga ia akan sulit untuk keluar dari tempatnya bekerja.

Dan yang ketiga adalah, normative commitment, komitmen ini merupakan suatu komitmen untuk mengharuskan seseorang bertahan karena memiliki tanggung jawab dan kewajiban penuh dengan perusahaan tempatnya bekerja, juga bisa karena terikat kontrak. Biasanya seberapapun feedback yang didapat tidak menjadi masalah karena karyawan yang memiliki komitmen ini merasa perannya dalam perusahaan tersebut sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban yang harus ia kerjakan. Contohnya, ada karyawan yang telah terikat kontrak dengan perusahaan selama beberapa tahun, meski penuh tekanan dan feedback yang didapat jauh dari ekspektasi maka orang tersebut akan terus bertahan karena sudah ada keterikatan dengan peusahaan tempatnya bekerja selain itu juga ditakutkan ada resikonya jika melanggar komitmen tersebut atau memilih untuk keluar dari perusahaan tersebut yang berarti melanggar peraturan kontrak.


Successful Manager VS Effective Manager (Jessie)



Seorang manager dalam perusahaan memiliki kinerja yang berbeda-beda, dan memberikan kontribusi dengan kadar yang berbeda-beda. Mereka juga memiliki cara yang berbeda-beda untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dalam perusahaan. Berdasarkan cara dan kontribusi mereka dalam perusahaan, manager terbagi menjadi 2 tipe, yaitu successful manager dan effective manager.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kedua tipe manager tersebut, mari kita lihat terlebih dahulu aktivitas yang dilakukan oleh seorang manager pada umumnya. Aktivitas yang lazimnya dilakukan oleh seorang manager adalah routine communication (meliputi general desk work, processing paperwork, menyampaikan hasil rapat, melakukan pertukaran informasi mengenai hal terkait pekerjaan, dsb), traditional management (planning, decision making, controlling), networking (sosialisasi, meliputi percakapan tidak terkait pekerjaan, menjatuhkan orang lain), dan human resource management (motivating, disciplining, mengatasi konflik, traning/developing).
Seorang manager yang successful biasanya akan mencapai posisi jabatan yang tinggi dalam perusahaan dengan waktu yang terbilang cukup singkat. Fokusnya adalah dengan melakukan networking untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dalam perusahaan. Melihat penjelasan sebelumya mengenai networking, ini berarti yang dilakukan oleh manager yang successful adalah dengan mencari dan mengandalkan koneksi untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dalam perusahaan, dan tidak mustahil jika mereka juga menjatuhkan orang lain untuk mencapai posisi tersebut. Namun jika melihat hasil kerja dan kontribusi mereka bagi perusahaan, dapat dikatakan mereka tidak menguntungkan bagi perusahaan, karena tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi kemajuan perusahaan dalam mencapai goal. Banyak orang yang lebih memilih untuk menjadi manager yang successful daripada efektif yang mungkin disebabkan karena keinginan untuk memenuhi kebanggaan pribadi.
Effective manager adalah manager yang fokus pada aktivitas human resource management, dimana manager yang efektif lebih banyak melakukan pertukaran informasi mengenai pekerjaan dengan orang di lingkungan kerjanya, memberi feedback bagi hasil kerja anggotanya, menyelesaikan konflik yang terjadi, dan mengadakan training & development. Manager yang efektif memberikan kontribusi yang besar bagi perusahaan dalam mencapai tujuan bersama dengan kinerja mereka yang baik. Tipe manager seperti inilah yang paling dibutuhkan dan lebih menguntungkan perusahaan.
Perlu diingat bahwa tujuan dari perusahaan adalah mencapai goal, dan untuk mencapai goal tersebut dibutuhkan kontribusi yang optimal dari pekerja termasuk manager yang efektif. Manager yang successful memang memiliki keuntungan tersendiri karena dapat mencapai posisi yang tinggi dalam perusahaan dengan jangka waktu yang singkat dan bermodalkan koneksi, namun jika perusahaan menghadapi krisis dan memutuskan untuk mengurangi jumlah pekerjanya, maka kemungkinannya lebih besar bagi manager yang successful untuk diberhentikan dibanding manager yang effective, karena manager yang efektif memberikan kinerja yang baik dan dibutuhan perusahaan untuk menghadapi situasi krisis. Jadi, ingin menjadi manager dengan tipe yang manakah anda? Sukses dengan cepat atau efektif dan menguntungkan perusahaan? Pilihan di tangan anda.