Teori Hope: Sebuah Teori Psikologi yang Belum Banyak Dikenal (Elvina Pekasa)




Sebagai prolog, saya meminta anda untuk berfikir sejenak. Saat anda membaca tiga pernyataan setelah ini dan ada seseorang yang tiba-tiba terlintas di kepala anda yang sesuai dengan pernyataan tersebut, maka anda harus menjawab ya dalam pikiran anda.
Pernyataan pertama, saya memiliki kenalan yang memiliki tujuan yang luar biasa namun tidak pernah mencapainya. Kedua, saya memiliki kenalan sudah yakin dengan tujuannya, melakukannya, namun berhenti di tengah jalan. Ketiga, saya memiliki kenalan yang hampir selalu sukses mencapai tujuannya. Jika anda memiliki dua atau tiga jawaban ya dalam pikiran anda, pernahkah anda berpikir apa yang membedakan mereka? kenapa seseorang sukses sedangkan yang lain gagal padahal mereka sama-sama memiliki tujuan?
Kebanyakan orang, terutama dalam dunia pekerjaan atau bahkan anda sekalipun, akan cenderung menjawabnya dengan teori-teori motivasi, bakat minat, mood, stres, need, dsbnya. Namun, pernahkah anda mempertimbangkan tentang aspek harapan atau hope?
Menurut Snyder, harapan adalah gabungan antara niat atau tekad untuk mencapai tujuan tertentu (agency) dan rencana mental yang berisi beberapa strategi berbeda untuk mencapai tujuan mereka (pathways). Sederhananya, harapan melibatkan keinginan kuat mencapai suatu tujuan tertentu dan mencari jalan-jalan alternatif menuju kesana apabila jalan utama terhambat oleh masalah.
Bagaimana harapan bekerja dalam diri seseorang? Harapan pasti diawali oleh suatu tujuan yang ingin dicapai. Kemudian, harapan memberikan pikiran positif bahwa seseorang dapat mencapai tujuannya yang kemudian menghasilkan niat atau tekad. Namun apa yang membedakannya dengan optimisme? Yang membedakannya adalah harapan tidak hanya memberikan niat tetapi juga membuat rencana-rencana realistis untuk mencapai tujuannya atau untuk mengatasi masalah yang mungkin muncul.
Jadi bagaimana penjelasan teori harapan (hope) untuk pernyataan- pernyataan di paragraf pertama? Anda mendapatkan bonus poin jika pertanyaan seperti ini muncul di kepala anda saat anda membaca paragraf 3 atau 4. Pernyataan pertama, saya memiliki kenalan yang memiliki tujuan yang luar biasa namun tidak pernah mencapainya. Hal ini berarti orang tersebut baru memiliki suatu tujuan yang INGIN dicapai. Memiliki keinginan bukan berarti langsung memiiliki tekad atau niat. Seseorang mungkin saja ingin mencapai tujuan tertentu namun masih belum memiliki pikiran positif bahwa ia bisa dan ia harus melakukan usaha tertentu untuk mencapai tujuan tersebut. Tentu tujuan tidak akan tercapai dengan sendirinya tanpa usaha bukan?
Pernyataan kedua, saya memiliki kenalan sudah yakin dengan tujuannya, melakukannya, namun berhenti di tengah jalan. Hal ini berarti, orang tersebut sudah memiliki tujuan yang ingin dicapai dan sudah memiliki tekad atau niat untuk mencapainya. Terlihat darimana? Terlihat dari usahanya untuk mencapai tujuan tersebut. Namun kenapa berhenti? Disinilah perbedaan antara harapan dan optimis terlihat. Optimis berarti sudah memiliki keinginan, memiliki pikiran positif, namun bisa saja berhenti saat masalah muncul di tengah jalan. Sedangkan harapan memberikan alternatif atau solusi-solusi penyelesaian masalah sehingga tidak akan berhenti saat masalah muncul.
Pernyataan ketiga, saya memiliki kenalan yang hampir selalu sukses mencapai tujuannya. Hal ini berarti orang tersebut sudah memiliki tujuan yang ingin dicapai, memiliki tekad atau niat, dan memiliki bermacam cara untuk mencapai tujuannya. Sehingga saat masalah-masalah muncul di tengah jalan, ia tidak hanya memiliki pikiran positif tetapi juga sudah memiliki bermacam-macam solusi atau cara untuk mengatasinya.
Teori harapan atau hope memang masih jarang terdengar untuk mengatasi masalah khususnya dalam dunia pekerjaan. Padahal, beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa harapan seseorang akan meningkatkan performa kerja, kepuasan kerja, kebahagiaan dan komitmen organisasi seseorang. Dapat diterapkan dalam dunia pekerjaan? Tentu. Tujuan tidak hanya berarti tujuan hidup kan, tapi juga dapat berupa peningkatan penjualan, pengembangan usaha, pencapaian target bulanan, penyelesaian proyek, dsbnya.
Penjelasan-penjelasan saya di atas, bukan berarti saya mengabaikan hal-hal penting lain seperti optimisme, motivasi, resilience, dsbnya. Saya hanya ingin memperkenalkan sebuah teori baru, yaitu teori hope untuk mengatasi masalah- masalah dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan dalam dunia pekerjaan anda.


Komunikasi Nonverbal (Fitria Nugraha)



Pernahkah Anda melihat orang yang sedang berpidato tetapi tidak menatap para penonton dan terus-terusan mengelap keringat di keningnya padahal ruangan tersebut tidak panas? Menurut Anda, apa yang sedang dirasakan orang tersebut? Tentu Anda akan mengatakan bahwa orang tersebut sedang merasa gugup atau takut berpidato. Gerakan tubuh atau ekspresi wajah orang tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi nonverbal. Sadar atau tidak disadari, komunikasi nonverbal seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan juga tentu di lingkungan bekerja. Dengan memahami komunikasi nonverbal, seorang pemimpin perusahaan dapat melihat kepribadian atau sikap yang dimiliki karyawannya tanpa perlunya percakapan yang panjang lebar. Begitu pula sebaliknya.
Komunikasi nonverbal merupakan penyampaian pesan verbal maupun nonverbal oleh seseorang melalui respons tanpa kata-kata dan karakteristik- karateristik yang diterima seseorang dari lingkungannya. Tidak semua perasaan, pikiran, atau pendapat harus dikomunikasikan melalui kata-kata. Sebagai contoh di dalam bisnis restoran, ketika seorang pramusaji menawarkan beberapa pilihan makanan pada pelanggan, kemudian pelanggan tersebut mengernyitkan kedua alisnya dan menunjukkan ekspresi tidak suka. Ekspresi wajah tersebut merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang mengambarkan bahwa pelanggan tersebut tidak menyukai pilihan makanan yang ditawarkan oleh pramusaji tersebut. Jika pramusaji tersebut peka, maka ia akan menyadari maksud dari pelanggan tersebut dan dapat beralih untuk menawarkan makanan lainnya.
Tentu komunikasi nonverbal tidak hanya terbatas pada ekspresi wajah saja. Komunikasi nonverbal juga meliputi gerakan tubuh, gaya berpakaian, ketepatan waktu, lokasi berbicara, dan lain-lain. Kepekaan dan pemahaman akan bentuk- bentuk komunikasi nonverbal akan membantu individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang baru. Komunikasi nonverbal akan membantu kita memahami lebih baik maksud atau pesan yang ingin disampaikan lawan bicara kita. Namun, tentu pemahaman komunikasi nonverbal yang baik juga harus didukung dengan komunikasi verbal yang baik pula. Sehingga perputaran informasi dalam suatu perusahaan tetap dapat berjalan dengan efektif dan efisien.


Kesuksesan Berasal dari Tujuan yang Pasti (Liliana Putri)



Sering kali, kita para mahasiswa digeluti oleh rasa malas saat diminta untuk membuat suatu tugas mata kuliah tertentu. Apalagi kalau tugas yang diberikan tidak memiliki tujuan yang jelas. Salah satu hal yang dapat kita lakukan agar kita termotivasi dalam bekerja adalah dengan menentukan tujuan (goal-setting) terlebih dahulu. Dengan membuat goal-setting, kita memiliki target yang jelas yang harus dicapai. Apabila target yang ditentukan sudah jelas, muncul lah motivasi yang dapat mempengaruhi tingkah laku kita untuk berupaya dalam mencapai tujuan tersebut.
Dalam goal-setting theory yang dikemukan oleh Edwin Locke, tujuan mempengaruhi perilaku kita dalam empat cara. Pertama, tujuan mengarahkan perhatian kita pada suatu tugas tertentu. Kedua, tujuan membuat kita melakukan upaya terhadap suatu tugas. Dengan kata lain, tujuan dapat menumbuhkan niat kita untuk melakukan usaha dalam mencapai tujuan. Ketiga, tujuan memungkinkan kita untuk terus-menerus berusaha menuju pencapaian. Tanpa adanya tujuan, sering kali kita akan menyerah dan mudah berpindah ke hal yang lain. Keempat, tujuan membantu kita membuat strategi untuk bergerak menuju pencapaian kita. Dengan adanya tujuan dan niat untuk mencapai suatu tujuan, otak kita akan memikirkan cara-cara atau strategi yang diperlukan dalam mencapai tujuan tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Locke dan lain-lain selama 40 tahun, pernyataan penting dalam goal-setting theory adalah: Motivation is enhanced when employees ACCEPT and are COMMITTED to SPECIFIC, DIFFICULT goals and when FEEDBACK about progress toward those goals is provided. Kita akan termotivasi dan menghasilkan performa yang lebih baik ketika kita menerima dan berkomitmen untuk menyelesaikan suatu tugas. Tugas tersebut tentunya harus memiliki kesulitan yang dapat diukur, menantang, dan memiliki tujuan yang spesifik. Apabila tujuan yang ditetapkan terlalu mudah atau bahkan tanpa tujuan yang jelas, kita cenderung tidak akan memberikan upaya yang terbaik. Setelah kita melakukan usaha dalam mencapai tujuan tersebut, kita juga membutuhkan feedback agar kita tahu bagaimana perkembangan kinerja kita. Selain tujuan yang bersifat menantang, memiliki tingkat kesulitan tertentu, dan kita berkomitmen terhadap tujuan tersebut, terdapat juga peran self-efficacy.
Self-efficacy merupakan keyakinan individu bahwa ia mampu membuat sesuatu menjadi positif. Dalam hal ini, self-efficacy berarti keyakinan bahwa kita mampu menyelesaikan suatu tugas dengan baik. Kita yakin bahwa kita bisa berhasil mencapai tujuan yang ingin kita capai. Keyakinan tersebut tentunya berhubungan dengan komitmen kita dalam mencapai suatu tujuan. Biasanya, orang dengan self-efficacy tinggi cenderung membuat tujuan yang lebih menantang dan bersemangat dalam mencapainya. Maka dari itu, selain goal- setting yang jelas kita juga harus memiliki self-efficacy yang tinggi dalam mencapai suatu tujuan.
Berikut contoh yang merupakan pengalaman pribadi saya. Saat awal-awal memasuki dunia perkuliahan, tujuan yang saya tetapkan adalah saya harus mendapatkan IP di atas 3. Namun, saya belum berani menyatakan dengan jelas angka berapa yang saya mau. Saat itu saya berpikiran 3,2 sampai 3,4 saja mungkin sudah cukup bagus dan susah untuk diraih. Akhirnya saat semester 1 saya mendapat IP 3,4. Awalnya saya merasa lega karena saya mampu menembus angka 3,4. Tetapi, ternyata teman-teman di sekitar saya banyak yang mendapatkan IP berkisar 3,5 sampai 3,8. Bahkan ada yang 3,9 sampai 4. Saat itu saya mulai berpikir apakah saya mampu seperti mereka? Hal apa saja yang perlu saya lakukan untuk bisa mendapatkan IP yang lebih baik lagi? Akhirnya saya membuat goal-setting yang lebih spesifik dan menantang. Saya ingin mencapai IP 3,7. Untuk dapat mencapai IP tersebut, saya mulai memikirkan strategi dan usaha apa saja yang dibutuhkan. Dari mulai strategi belajar mata kuliah tertentu, strategi mendapatkan nilai A, dan menghitung IP. Saat sudah mengetahui strateginya, saya jadi lebih bersemangat dalam mengerjakan tugas- tugas dan kuis. Ditambah lagi tugas-tugas dan kuis tersebut diberi feedback oleh dosen berupa nilai dan keterangan mana yang harus diperbaiki. Hasilnya, tidak disangka IP saya di semester 2 justru naik drastis menjadi 3,93. Di semester 3 juga naik lagi menjadi 4. Hal yang semula saya kira sangat amat sulit untuk dicapai ternyata tidak sesulit yang saya bayangkan. Dalam hal ini saya memang juga berusaha meningkatkan self-efficacy saya. Berdasarkan pengalaman saya tersebut, goal-setting yang jelas, spesifik, dan menantang dapat memotivasi kita untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik.


PSYCHOLOGICAL CAPITAL (Christy)



Psychological capital berasal dari dua kata, yaitu psychological yang berarti psikologis dan capital yang berarti modal. Kalau dua kata ini digabung, akan membentuk suatu kosakata, yaitu modal psikologis. Modal psikologis tersebutlah yang dapat mengembangkan diri seseorang. Kabar baiknya, psychological capital merupakan sebuh state yang dapat dilatih dan dimiliki semua orang. Psychological capital terdiri dari empat poin penting, yaitu self-efficacy, optimism, hope, dan resiliency. Ketika bergabung menjadi satu, keempat poin tersebut memiliki hubungan yang positif dengan perilaku organisasi yang baik (Luthans, 2011).
Poin pertama adalah self-efficacy. Self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa dirinya sendiri dapat menyelesaikan tugas yang spesifik dengan baik dalam suatu konteks tertentu (Stajkovic dan Luthans, 2011). Jadi, apabila seorang mahasiswa merasa yakin bahwa dirinya mampu membawakan suatu presentasi di depan kelas dengan baik dan mudah dipahami, itu menandakan bahwa mahasiswa tersebut memiliki self-efficacy yang baik.
Poin kedua adalah optimism. Seseorang yang optimis memiliki ekspektasi tentang hal yang baik dalam menjalani hidup. Orang-orang tersebut mengganggap kondisi yang buruk sebagai pengaruh dari lingkungan eksternal-, bersifat sementara unstable-, dan bukan berarti dengan adanya suatu kejadian buruk, seluruh kehidupannya pun menjadi buruk spesific- (Seligman dalam Luthans, 2011). Seorang siswa yang optimis ketika gagal dalam ujian fisika karena kurang memahami penjelasan gurunya, tidak akan sepenuhnya menyalahkan dirinya sendiri. Ia akan menganggap kegagalannya sebagai pengaruh dari materi pelajarannya yang memang tidak mudah (eksternal), menganggap kegagalannya hanya pada satu ujian saja dan masih ada kesempatan lain untuk memperbaikinya (unstable), dan tidak menganggap dunia runtuh karena satu kegagalan tersebut (spesific).
Poin ketiga adalah hope. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hope berarti harapan. Berkaitan dengan arti tersebut, seseorang yang hopeful dalam pembahasan ini berarti seseorang yang memiliki tujuan/harapan dan tahu cara untuk mencapai tujuan/harapan tersebut (Snyder dalam Luthans, 2011). Sebagai contoh, apabila seorang siswa memiliki tujuan untuk lulus Ujian Nasional (UN) dengan nilai yang memuaskan, siswa tersebut akan menyusun cara-cara untuk mencapainya, misalnya dengan tekun belajar, membeli buku kumpulan soal UN tahun-tahun sebelumnya, dan mengikuti bimbingan belajar.
Poin keempat adalah resiliency, yaitu kondisi ketika seseorang dapat bangkit kembali dari kondisi yang sangat buruk atau kondisi yang sangat baik (Luthans, 2011). Jadi, kehidupan yang dapat membuat seseorang berkembang adalah kehidupan yang juga ada liku-likunya (tidak terlalu positif dan tidak terlalu negatif). Sebagai contoh, seorang siswa yang sangat mencintai seni, tetapi harus kehilangan kedua tangannya karena terkena suatu bencana kebakaran pasti merasa terpukul dengan kondisinya. Akan tetapi, ketika siswa tersebut bangkit kembali dan berusaha melatih diri melukis dengan menggunakan mulutnya, menyatakan bahwa dirinya termasuk pribadi yang resilien.


Subjective Well Being (Lasma Nora Apriany)



Subjective Well Being merupakan evaluasi kognitif dan afektif dalam hidup seseorang. Elemen kognitif mengacu kepada apa yang seseorang pikirkan mengenai kepuasan hidupnya secara menyeluruh atau pada bagian tertentu (mis: pekerjaan, hubungan, dll). Elemen afektif mengacu kepada emosi, mood, dan perasaan. Afektif dianggap positif jika emosi, mood, dan perasaan sedang bahagia. Sedangkan afektif akan dianggap negatif jika emosi, mood, dan perasaan sedang tidak bahagia (mis: merasa bersalah, malu, dan marah). Seseorang yang memiliki kepuasan yang tinggi terhadap hidupnya dan lebih banyak mengalami positive affect (mis: kasih sayang, kegembiraan, dll.) dan sedikit negative affect akan dianggap memiliki level SWB yang tinggi. Dalam kata lain, akan menjadi sangat bahagia.
Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepuasan hidup dan kepuasan kerja. Mereka yang puas terhadap hidupnya cenderung menemukan lebih banyak kepuasan dalam bekerja. Jadi, akan salah jika seseorang berpikir dia akan bahagia dalam pekerjaannya jika mendapatkan fasilitas yang banyak dari kantor atau mendapatkan gaji yang besar. Karena seseorang perlu menjadi bahagia dulu dalam hidupnya lalu bahagia dalam pekerjaan atau profesinya. Mereka yang bahagia dalam menjalani pekerjaan atau profesinya akan menjadi lebih produktif dan efektif. Mereka juga akan menghasikan lebih banyak uang, mendapatkan lebih banyak promosi dalam pekerjaan mereka, mendapat evaluasi yang lebih baik dari supervisor, dan menjadi karyawan yang baik.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengalami SWB, antara lain: (1) melatih bersyukur dan positive thinking (mengucap syukur, optimis, menghindari overthinking & perbandingan sosial), (2) berinventasi dalam relasi atau hubungan sosial (bersikap baik terhadap orang lain dan merawat relasi yang sudah ada), (3) mengatur stress dan trauma (membangun strategi untuk coping dan belajar untuk memaafkan), (4) hidup pada masa ini (tidak dipengaruhi oleh masa lalu dan tidak khawatir akan masa depan), (5) berkomitmen terhadap goalnya, dan (6) merawat jiwa dan raga (meditasi, relaksasi, olahraga, dll.).