What we did in class~ plus my two cents about real-life experience (Adhina Kumala)

kembali ke pembahasan empati. Jadi waktu membahas ini, tiba2 bu Henny menyuruh kami sekelas untuk berpasang2an. Setelah mendapat pasangan, kami disuruh suit. Nah, bagi individu yang menang suit, dia disuruh untuk bercerita mengenai apa saja kepada pasangannya. BUT, there was a twist to it. Pasangannya diperbolehkan untuk melakukan apa saja asalkan tidak memerhatikan individu yang bercerita tersebut. [[ Jadi intinya, A dibolehin nyeloteh apa aja ke B tapi B boleh ngelakuin apa aja tapi A dikacangin aja gitu pas dia lagi cerita]] . Kebetulan pasangan saya Lupita dan dia yang menang suit. Jadi dia mulai cerita duluan. “Oke… I hear you, pit… how can I not?! I’m sitting right in front of you!” haha, instruksinya sih disuruh jangan mendengarkan… tapi… insting manusia… semakin dilarang, malah inginnya melakukan… yahh, denger deh… tapi saya coba mengalihkan perhatian dengan mengambil kertas dan langsung mulai menggambar stick man. Yah, lumayan lah sambil latihan menumpukan konsentrasi. Akan tetapi tetap saja ujung2nya malah samar2 terdengar… (ya, jadi saudari Lupita ini sedang geli-geli basah gara2 seminar proposal… dalam hati: “iya pit, gue juga”). Kemudian, bu Henny menyuruh kami bergantian giliran. Sekarang giliran saya yang berbicara. Saya menyeloteh mengenai acara TV Korea favorit saya. Pada awalnya saya excited untuk bercerita karena saya sangat menyukai acara tersebut. Ketika sudah mengucapkan kalimat pertama, perasaan saya masih fine2 saja. Lama kelamaan yang ada di kepala saya adalah “why should I even bother talking?”. Hanya itu yang ada di dalam pikiran saya, sehingga bikin saya ragu untuk cerita lebih lanjut. Saya juga jadi bingung mau cerita apa. Lama-lama jadi males sendiri. Untung bu Henny langsung menghentikan waktunya dan langsung menyuruh kami semua untuk bebas saling bercerita satu sama lain. Wah, langsung deh satu kelas heboh. Tetapi bu Henny langsung menghentikan kami semua karena kalau diteruskan pasti tidak ada habisnya.
Kemudian bu Henny mengajukan dua pertanyaan:
1. bagaimanakah perasaan kami apabila kami disuruh untuk mengabaikan pasangan kami masing-masing yang sedang bercerita?
2. bagaimanakah perasaan kami ketika diabaikan pasangan ketika kami sedang bercerita?
Untuk pertanyaan nomor 1, secara pribadi, saya tidak merasa bersalah seperti yang mungkin dirasakan oleh beberapa teman lainnya karena itulah instruksi yang diberikan. Saya merasa bahwa pasangan saya aware terhadap hal tersebut dan dapat memahami bahwa itu bukan kehendak saya. Kemudian untuk pertanyaan nomor 2, bagaimana perasaan ketika diabaikan? perasaan saya malas saja. Saya memang jadi malas untuk cerita akan tetapi tidak sampai jadi merasa kesal terhadap lupita karena dia hanya melakukan apa yang harus dilakukan.
Sebenarnya, apabila dalam konteks dunia nyata, saya akan merasa kesal apabila diabaikan. Jujur, hal ini sering terjadi pada saya di rumah. Apa yang terjadi? mamah saya merupakan blackberry-addict. Salah satu hal yang saya sesali selama saya hidup adalah memperkenalkan mamah saya dengan gadget ‘sialan’ tersebut. Kalau saya sedang bercerita mengenai sesuatu ke mamah saya, tiba2 dia bisa langsung tertawa terbahak2 meskipun cerita saya ini tidak ada lucu2nya. Eh… ternyata matanya sedang menuju ke layar blackberry. Sebenarnya, dia merespon sih kalau saya cerita tapi kan tetap saja perhatiannya tidak khusus tertumpu pada saya. Matanya juga terus mengarah ke blackberry. Lebih mengesalkan lagi apabila dia tiba2 memotong pembicaraan saya dan malah dia yang ganti bercerita mengenai guyonan yang sedang terjadi di bb group teman2 SMA-nya dulu. “Astaga… ini emak-emak jaman sekarang pada begini semua ato cuma emak gue doang ya?” pikir saya. Suatu hari saya sudah tidak dapat menahan ‘amarah’ saya lagi, sebelum ngomel2 ke mamah saya, saya bertanya dulu kepadanya “Mah, enaknya pake BB apaan sih?”. Kemudian dia menjawab “kan asik dek ngobrol2 sama temen… ketemu temen2 lama juga lagi.. trus orang2 di bb suka ngirim yang lucu2 lagi”. Yah… iya juga sih, toh mamah saya nggak ada kerjaan kalau saya dan kakak saya tidak ada di rumah. Kasian juga.. nggak jadi ngomel deh. Kemudian suatu hari ketika saya sedang mengerok mamah saya, saya bercerita mengenai analisis mimpi yang diterangkan di kelas psikologi konseling. Eh sedang bercerita, tiba2 mamah saya langsung membalikkan badan dan malah bertanya “dek, profpic-nya mamah bagus nggak dek?”. “Astagaaa… jadi dari tadi mamah ngeliatin BB!” pikir saya. “Bagus”, saya jawab singkat. Kemudian saya langsung siap2 untuk mengomel.
“Mah… tadi aku cerita apa?”
“Dia itu kangen banget sama bapaknya yang udah meninggal mangkanya mimpinya gitu terus dek”
(Saya diam sejenak. “Lho, kok bener jawaban dia??” tapi saya menguatkan niat saya kembali untuk menghadapi mamah saya agar dia berhenti dengan bb-nya tersebut)
“dia emang mimpi apaan?”
“dikejar-kejar… hehehe”
yessss, dia salah! hahaha… mulai dari situ saya langsung mengomel tentang bagaimana mamah saya selalu fokus ke bb-nya ketika saya berbicara dan saya ingin dia lebih memperhatikan saya apabila saya berbicara. I’m glad I did it because she’s changed ever since then. Although sometimes she’s back to her old habit, it’s not as often as before. It just felt great to have someone to listen to your stories.

17 September 2013

Lesson two (Adhina Kumala)

Pada kelas minggu lalu (11/09) kami membahas tentang keterampilan dasar wawancara.
Pertama adalah membina rapport. Dalam proses wawancara pasti kan ada seorang subjek yang informasinya mau kita korek. Maka dari itu, agar kita dapat mengorek informasi secara dalam dari beliau, kita harus membuat beliau nyaman dengan kita agar beliau mau terbuka dengan kita. Apabila beliau terbuka dengan kita, kan jadi lebih gampang kita mengoreknya (bukan mengorek lubang hidung, telinga berserta lubang2 lainnya ya). Nah, disini keterampilan kita sebagai pewawancara diuji karena pewawancara lah yang menentukan apakah subjek mau terbuka atau tidak. Pewawancara harus menciptakan lingkungan yang nyaman untuk subjek. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah seperti tersenyum hangat (bukan senyum sambil bawa-bawa kompor ya, kata bu Henny), berjabat tangan, memberi sambutan yang hangat, menunjukkan ekspresi kepedulian dan ketertarikan terhadap subjek, dan perhatikan pula kondisi ruangan (pencahayaan, suhu, etc).
Yang kedua adalah empati. Empati itu bukan hanya melibatkan perasaan kasihan saja akan tetapi kita menempatkan diri kita dalam posisi orang tersebut. Disini kuncinya adalah tetap fokus terhadap subjek di setiap saat. Sebenarnya, ketika membahas soal empati, bu Henny menyuruh kami semua melakukan sesuatu yang sangat menarik di kelas. Nah, apakah itu? Saya bahas di post terpisah ya…
Selanjutnya, yang ketiga adalah “attending behavior. Disini kuncinya adalah pewawancara hendaknya jangan terlalu banyak bicara dan berikan subjek waktu untuk bercerita tentang diri mereka. Hendaknya pewawancara memperhatikan apa yang dibicarakan oleh subjek dan sekali-sekala berikan pertanyaan dan pendapat mengenai topik yang dibicarakannya.
Yang keempat adalah “open question”. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan terhadap subjek hendaknya memiliki sifat yang tidak mengarahkan agar beliau lebih bebas untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan begitu, informasi yang didapat akan lebih kaya dari beliau. Misalnya, ada klien yang bercerita bahwa dia telah disakiti, daripada menanyakan “Apa Anda marah?” (yang merupakan leading question), lebih baik pewawancara menanyakan ”Apa yang kamu maksud dengan menyakiti?” (yang tidak mengarahkan).
Yang kelima adalah teknik bertanya. Hendaknya pewawancara jangan memaksa subjek untuk bicara dan menanyakan hal yang bersifat personal dengan daftar pertanyaan yang sangat panjang. Hal ini akan membuat subjek merasa ditekan dan malah takut untuk berbicara. Yang ada malah beliau akan menyembunyikan informasi-informasi yang nantinya sangat berguna bagi pewawancara. Pertanyaan yang terus menerus ditanyakan akan membuat subjek tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Pertanyaan “mengapa?” hendaknya tidak diajukan.  Mengapa? (kalau sekarang boleh dong saya pakai) Karena pertanyaan “mengapa” akan memunculkan rasionalisasi subjek saja, membuat subjek merasa harus bertanggung jawab akan segala sesuatu. Lebih baik menggunakan ‘apa?’, ‘bagaimana?’,
Yang keenam adalah keterampilan observasi yang berfokus pada perilaku non-verbal (ekspresi wajah, bahasa tubuh), verbal (perhatikan keywords), dan pewawancara harus mewaspadai diskrepansi antara statusisasi serta kontroversi hati dan konspirasi kemakmuran twenty-nine my age subjek… eh, bercanda…. kembali ke jalan yang benar~ pewawancara harus mewaspadai diskrepansi antara tindakan verbal dan non-verbal subjek selama wawancara. Inkongruensi bisa mengindikasikan bahwa subjek merasa tidak nyaman untuk mendiskusikan masalah tertentu atau bahwa klien tidak sepenuhnya bersikap jujur.
Yang ketujuh adalah active listening yang terdiri dari: encouraging (melakukan tindakan2 verbal maupun non-verbal yang bertujuan untuk mendorong subjek untuk terus bercerita, seperti menganggukkan kepala dan mengucapkan “hmm…”, “Ya…”, “oke…”, “lalu…”). Kemudian, parafrase (refleksi konten cerita) dan refleksi perasaan klien, serta summerizing. (digunakan untuk mengklarifikasi apa yang telah diceritakan oleh subjek).

17 September 2013

Lesson one (Adhina Kumala)

Kira-kira dua minggu yang lalu, kelas kami memperoleh tugas mewawancarai psikolog atau tenaga ahli di bidang PIO/ Pendidikan/ Klinis. Jadi yang kami perlu lakukan untuk tugas tersebut adalah mewawancarai seorang psikolog atau tenaga ahli dari salah satu bidang dimana bidangnya ditentukan secara acak untuk masing-masing kelompok. Wawancara tersebut bertujuan untuk mencari tahu bagaimana gambaran aplikasi teknik wawancara dalam pekerjaan mereka. Susunan pertanyaan untuk sesi wawancara telah disediakan oleh Ibu Henny. Kemudian, hasil wawancara kami susun dalam bentuk makalah dan powerpoint slide yang harus kami presentasikan dalam kelas.

Nah, kelompok saya (terdiri dari tiga individu: saya sendiri, Agustin dan Lupita) mendapat bagian mewawancari tenaga ahli di bidang pendidikan. Kebetulan Agustin mempunyai kenalan guru BK di suatu sekolah yang terletak di daerah Puri, jadi dia langsung membuat appointment dengan beliau. Pada malam sebelum hari H wawancara, jujur saya malah tidur2an di kasur sambil ketawa-ketiwi menonton video di Youtube. Benar2 tidak ada persiapan sama sekali. Berhubung daftar pertanyaan sudah ada, jadi rasanya tenang *sampai2 lupa diri*. Melirik daftar pertanyaannya pun tidak. Sebenarnya, saya juga sempat lupa membawa daftar pertanyaannya dan baru ingat keesokan harinya ketika kami bertiga sudah on the way ke sekolah tersebut (untung Agustin sudah mendownload daftar pertanyaan di iPadnya). Ketika sampai di sekolah, kami menunggu sekitar 10-20 menit dan akhirnya beliau-pun tiba di kantor BK.
Kami memperkenalkan diri terdahulu kemudian kami dipersilakan duduk di ruangan beliau. Sebelum wawancara dimulai, Lupita meminta izin untuk menggunakan alat perekam (yang ada di handphone) selama proses wawancara berlangsung, guna membantu kami dalam mengingat ketika menyusunan hasil wawancara nanti. Saya bertugas dalam mencatat apa yang dibicarakan oleh beliau nanti (untuk berjaga2, siapa tahu nanti handphone-nya mulai ‘nge-hang‘ ). Sedangkan Agustin yang mengajukan pertanyaan.

panduan pertanyaan
daftar pertanyaan untuk wawancara hari itu
     Setelah Agustin selesai mengajukan semua pertanyaan yang terdapat pada panduan, beliau juga turut memberikan penjelasan tambahan mengenai perbedaan wawancara dan konseling. Menurut beliau, wawancara adalah teknik untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan, dalam konseling terdapat suatu permasalahan yang coba diatasi secara dua arah dan bukan hanya sekedar mendapat informasi dari subjek.
     Berhubung proses wawancara berlangsung singkat, jadi kami mengambil kesempatan untuk bertanya2 lebih lanjut. Nah kebetulan pada saat ini lah saya mengajukan pertanyaan yang mengundang kritikan yang membangun dari beliau. Waktu itu pertanyaan saya: “biasanya masalah murid2 SMA ini apa ya bu?”. Kemudian beliau (kalau tidak salah) mengulang pertanyaan saya dan ia mengingatkan kepada kami bahwa tujuan kami wawancara dengan beliau adalah untuk menggali informasi mengenai teknik wawancara akan tetapi saya malah menanyakan tentang masalah-masalah yang dialami oleh murid SMA. “oh iya yaa”, pikir saya. Kemudian beliau mengingatkan kepada kami bahwa kami perlu melakukan persiapan yang matang sebelum wawancara. Harus ingat dengan tujuan dan sasaran wawancara agar informasi yang kami peroleh tepat dengan sasaran. Ketika beliau bicara seperti itu, saya jadi terbayang diri saya yang lagi ketawa-ketiwi di atas kasur kemarin malamnya. Ck ck ck, I’ve taken things for granted. Since the questions were already prepared before hand by bu Henny, so I thought we’re basically done… there’s nothing else to do. Ternyata persiapan memang harus dilakukan. Ketika wawancara berlangsung pun kita harus fokus pada tujuan dan sasaran. We just earned a lesson from it. Kemudian ditambah dengan adanya pelajaran Teknik Wawancara di bawah bimbingan Ibu Henny dan Ibu Tasya, kami akan mencoba menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dari kelas tersebut. We will try our hardest to improve in the future.

16 September 2013

dasar-dasar wawancara dan mengenai praktisi (Susi Susanti)

Saya akan membahas mengenai psikolog klinis anak. Karena saya pribadi tertarik dengan pekerjaan tersebut. Info yang saya dapat mengenai seorang psikolog klinis anak adalah harus sabar, kreatif, dan sehat emosi serta fisik. Mengapa demikian? seorang psikolog harus sabar karena yang dia hadapi adalah seorang anak kecil yang bisa saja terlalu aktif atau tidak bisa diam ketika diberi terapi atau diwawancarai atau anak yang diam, yang tidak mau menjawab sama sekali ketika diberi pertanyaan.
Selain sabar, psikolog anak tentu saja harus kreatif karena harus mencari ide untuk bagaimana cara anak yang terlalu aktif mau duduk diam dan mendengarkan psikolog tersebut dan bagaimana cara membuat yang diam terus mau menjawab pertanyaan yang diberikan.
Agar bisa sabar dan kreatif, psikolog anak harus selalu memiliki emosi dan fisik yang sehat jika mau menerima pasien, dengan maksud emosi yang stabil (tidak sedang dalam keadaan duka, mood swing, stress, cemas, dan mood-mood negatif yang lainnya) dan sehat secara fisik (tidak demam, flu, dan penyakit-penyakit menular lainnya serta penyakit kronis). Syarat yang cukup menantang untuk menjadi seorang psikolog anak adalah sabar. Karena semua orang memiliki kesabaran yang terbatas dan cukup susah mengendalikannya jika dalam keadaan emosi yang tidak stabil. dan tentu saja kesehatan secara fisik tidak kalah penting.

Selanjutnya saya akan bahas mengenai dasar-dasar teknik wawancara. Definisi wawancara adalah sebuah proses tanya-jawab yang dilakukan oleh dua orang secara langsung dan tatap muka, yang memiliki tujuannya. Hal-hal penting yang kita butuhkan ketika wawancara seperti yang sudah dijelaskan oleh ibu Henny, antara lain mulut yang tentu saja digunakan untuk menuturkan pertanyaan, telinga yang digunakan untuk mendengar, otak untuk mengolah hasil wawancara dan memilih kata-kata yangsesuai untuk ditanyakan, hati untuk membuat kita peka terhadap orang yang diwawancarai apakah berbohong atau tidak serta empati yang membuat kita mampu mengerti apa yang dirasakan oleh orang yang kita wawancarai, jadi tidak hanya sekedar mendengarkan tetapi juga memahami apa yang disampaikan.

17 September 2013

Wawancara dan Dunia Kerja (Prisco Wirawardhana)

     Wawancara dan dunia kerja berhubungan sangat erat terutama pada divisi Human Resources Development (HRD). Tidakh anya pada divisi tersebut, banyak dari divisi lain dalam dunia kerja juga memerlukan teknik wawancara seperti divisi pemasaran, informasi, atau bahkan keuangan. Kita tahu bahwa teknik wawancara banyak digunakan dalam divisi HRD mungkin dikarenakan tugasnya para HRD menggunakan teknik wawancara dalam melakukan recruitment. Yah, benar sekali pada saat melakukan recruitment yang menjadi tugas HRD, teknik wawancara sangatlah diperlukan.

     Tugas lain yang biasanya para HRD menggunakan teknik wawancara adalah pada saat melakukan konsultasi bagi para karyawan yang mengalami masalah, atau mencari tahu penyebab masalah tersebut dapat terjadi. Para HRD tidak hanya bertugas untuk mencari para tenaga kerja baru yang berkompeten, namun HRD juga memiliki tugas untuk memberikan solusi dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan. Tidak hanya sebatas melakukan recruitment, para HRD juga mungkin melakukan head hunting. Head hunting adalah pencarian karyawan pada tingkat supervisor atau lebih. Para HRD disini tidak bersifat pasif menunggu orang yang melamar pekerjaan, namun mereka dapat mencari atau bersikap aktif dengan mencari karyawan dengan tingkat minimal supervisor dari biro-biro headhunter, job street, atau group-group profesional lainnya.

     Dalam melakukan wawancara pada saat recruitment, beberapa HRD menggunakan teknik-teknik tertentu seperti menggunakan pertanyaan direct, in-depth, atau teknik STAR (Situation, Tasks, Action, Result). Tidak menutup kemungkinan juga wawancara dilakukan oleh 3 orang atau lebih dari divisi yang membutuhkan tenaga kerja baru. Wawancara yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih dimana hanya terdapat 1 calon tenaga kerja disebut wawancara tipe panel. Wawancara ini digunakan apabila divisi tertentu ingin melihat dan menguji secara langsung kandidat calon karyawannya.

17 September 2013

Teknik Wawancara (Prisco Wirawardhana)

Apayang ada dipikiran anda ketika mendengar wawancara? Mungkin dari kita banyak mengambarkanwawancara seperti adanya tanya jawab, yang dilakukan secara langsung oleh duaorang. Lalu pertanyaan lainnya muncul, apa bedanya dengan ngobrol-ngobrol biasa?Bagi para awam mungkin mengalami kesulitan untuk membedakan wawancara denganngobrol-ngobrol biasa. Namun, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas lebih dalam mengenai apa itu wawancara sebenarnya. Wawancara adalah metode pengambilan data atau informasi yang dibutuhkan melalu interaksi tanya-jawab secara langsung antara interviewer (yang melakukan wawancara) dan interviewee (yang diwawancarai) dimana dilakukan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Jadi jelasnya, beda antara ngobrol-ngobrol biasa dan wawancara adalah pada wawancara terdapat suatu tujuan yang ingin dicapai, sedangkan ngobrol-ngobrol belum tentu.

Penggunaan wawancara sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, biasanya digunakan seseuai dengan tujuan seperti menggali informasi, menanyakan keadaan seseorang, atau bahkan dapat digunakan untuk menyegarkan dan memulihkan keadaan seseorang. Penggalian informasi atau pengambilan data mungkin dapat dilakukan pada pelaksanaan penelitian, sedangkan menanyakan keadaan seseorang dapat dilakukan pada setting konseling, recruitment, atau pengujian. Tujuan yang lebih jauh dari penggunaan teknik wawancara seperti untuk menyegarkan dan memulihkan keadaan seseorang biasanya dilakukan pada setting psikoterapi.

Keunggulan teknik wawancara dibandingkan dengan teknik lain sangat banyak, seperti murah, cepat bila subyek sedikit, mudah digunakan bila berpengalaman, memvalidasi dari teknik-teknik lain, dan mencari informasi yang belum tentu teknik-teknik lain dapat gambarkan. Agar teknik wawancara dapat dilakukan dengan optimal, maka interviewer harus memiliki beberapa keterampilan dasar dan pengalaman yang cukup. Keterampilan dasar dalam melakukan wawancara seperti kemampuan membina rapport. Kemampuan membina rapport adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan lingkungan yang hangat, nyaman, hubungan yang dapat dipercaya antara interviewer dan interviewee. Kemampuan lain yang harus dimiliki oleh interviewer yaitu rasa empati, menjadi pendengar yang aktif, teknik bertanya yang baik, dan menghargai setiap kesempatan atau jawaban dari interviewee.

Adapun beberapa kekurangan yang mungkin terjadi dalam penggunaan teknik wawancara seperti waktu relatif lama bila subyek banyak, sulit mendapatkan informasi bila subyek tidak terbuka, kurangnya pengalaman, dan harus didukung dengan teknik-teknik lain seperti observasi dan alat tes. Dalam penggunaan teknik wawancara hal-hal yang harus diperhatikan seperti keadaan interviewee, latar belakang interviewee, kebersediaan interviewee, dan interviewer yang bertanggung jawab harus dapat merahasiakan segala informasi yang harus dirahasiakan.

17 September 2013