Apa yang Saya Dapatkan Dari Pengalaman Praktikum (Tiara Venesa Anggraeni)
Selama tiga minggu kemarin, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti praktikum wawancara dalam setting PIO, Pendidikan, dan Klinis. Selain itu, saya juga merasakan terjun langsung mewawancarai seorang lansia di sebuah panti bina sosial. Dari ketiga praktikum wawancara, saya dapat merasakan bagaimana melakukan interview kerja, mencoba untuk mendengar sharing anak remaja yang mengalami penurunan prestasi, serta bagaimana menghadapi klien dengan gangguan insomnia.
Selama menjadi interviewer, saya mendapati bahwa teori dan kenyataan lapangan tidak sepenuhnya sama. Pada setting PIO, saya masih merasa mudah untuk menjadi interviewer karena setting ini memerlukan formalitas dan sudah umum dibahas di mata kuliah lain. Pada setting PIO interviewee pun harus bersikap baik dan formal, sehingga saya merasa nyaman dalam bertanya. Pertanyaan-pertanyaan spontan pun lebih lancar keluar karena wawancara dilakukan sebatas kehidupan profesional sang interviewee tanpa terlalu memperdulikan kehidupan personalnya. Pada setting pendidikan lah saya mulai kewalahan. Saya harus ekstra ramah kepada interviewee yang dalam praktikum berperan sebagai siswa SMA kelas 2. Saya juga hrus melakukan probing lebih dalam ke kehidupan personalnya untuk mengetahui penyebab masalah yang ia hadapi. Pada setting Klinis, saya merasa sulit untuk melakukan probing karena interviewee yang menjawab seperlunya tanpa membahas hal lain sehingga saya sebagai interviewer terkesan kaku dan terlalu berpaku pada daftar pertanyaan.
Di praktikum yang sama, saya juga mendapat peran sebagai interviewee untuk orang lain. Saya merasa menjadi interviewee pun bukan hal yang mudah walaupun hanya menjawab saja. Interviewee harus lebih tahu dari interviewer mengenai dirinya, sedangkan tiap interviewer memiliki kasus yang berbeda. Saat saya menjadi interviewee, ternyata saya dapat merasakan apabila orang yang mewawancarai saya tidak kompeten. Seperti jika saya bingung dengan pertanyaan yang diajukan, atau tidak mengerti sama sekali apa yang interviewer bicarakan, atau bahkan saat interviewer tidak mengacuhkan jawaban saya dan tetap berpaku pada dirinya.
Saat saya terjun langsung ke panti bina sosial lansia, saya berkesempatan untuk mewawancarai seorang nenek yang kebetulan disana. Selama praktikum saya hanya mewawancarai orang-orang yang sebaya dengan saya, sehingga ketika saya mewawancarai nenek tersebut saya merasa agak canggung. Kecanggungan yang saya rasakan tersebut lebih banyak dikarenakan perbedaan usia yang sangat jauh antara interviewee dan saya. Selain itu, keadaan interviewee yang tinggal di panti dan jauh dari keluarga sempat membuat saya sedih. Saat wawancara berlangsung, volume suara interviewee terlampau amat kecil dan sulit didengar, terutama karena kondisi panti yang sedang direnovasi. Interviewer juga memiliki atensi yang kurang sehingga terkadang perhatiannya teralihkan kepada orang yang berlalu lalang didepannya. Agak sulit untuk membuka masa lalu sang interviewee karena kadang ia tidak mau menjawab pertanyaan dan dengan sengaja mengalihkan perhatiannya.
Dari seluruh praktikum yang telah saya lakukan, saya mendapatkan pelajaran berharga. Pelajaran tersebut adalah setiap orang berbeda. Ada yang mudah untuk terbuk dan ada yang sulit untuk terbuka kepada orang lain, sedekat apapun ia dengan orang tersebut. Untuk itu, sangat diperlukan keahlian dalam bertanya, bagaimana bertanya tanpa menyakiti perasaandan bagaimana bertanya untuk mendapatkan informasi lebih. Nampaknya saya masih belum memiliki keahlian-keahlian tersebut. Seperti kata dosen mata kuliah Teknik Wawancara, Ibu Henny E. Wirawan, Jam terbang akan membantu seorang pewawancara untuk lebih terbiasa dan lebih mendalami keahlian yang harus dimiliki untuk menjadi seorang pewawancara handal. Oleh karena itu, saya berharap dapat mendapatkan kesempatan di mata kuliah lain dan juga di masa yang akan datang untuk melatih dan membiasakan diri agar dapat menjadi pewawancara yang baik.
Selama menjadi interviewer, saya mendapati bahwa teori dan kenyataan lapangan tidak sepenuhnya sama. Pada setting PIO, saya masih merasa mudah untuk menjadi interviewer karena setting ini memerlukan formalitas dan sudah umum dibahas di mata kuliah lain. Pada setting PIO interviewee pun harus bersikap baik dan formal, sehingga saya merasa nyaman dalam bertanya. Pertanyaan-pertanyaan spontan pun lebih lancar keluar karena wawancara dilakukan sebatas kehidupan profesional sang interviewee tanpa terlalu memperdulikan kehidupan personalnya. Pada setting pendidikan lah saya mulai kewalahan. Saya harus ekstra ramah kepada interviewee yang dalam praktikum berperan sebagai siswa SMA kelas 2. Saya juga hrus melakukan probing lebih dalam ke kehidupan personalnya untuk mengetahui penyebab masalah yang ia hadapi. Pada setting Klinis, saya merasa sulit untuk melakukan probing karena interviewee yang menjawab seperlunya tanpa membahas hal lain sehingga saya sebagai interviewer terkesan kaku dan terlalu berpaku pada daftar pertanyaan.
Di praktikum yang sama, saya juga mendapat peran sebagai interviewee untuk orang lain. Saya merasa menjadi interviewee pun bukan hal yang mudah walaupun hanya menjawab saja. Interviewee harus lebih tahu dari interviewer mengenai dirinya, sedangkan tiap interviewer memiliki kasus yang berbeda. Saat saya menjadi interviewee, ternyata saya dapat merasakan apabila orang yang mewawancarai saya tidak kompeten. Seperti jika saya bingung dengan pertanyaan yang diajukan, atau tidak mengerti sama sekali apa yang interviewer bicarakan, atau bahkan saat interviewer tidak mengacuhkan jawaban saya dan tetap berpaku pada dirinya.
Saat saya terjun langsung ke panti bina sosial lansia, saya berkesempatan untuk mewawancarai seorang nenek yang kebetulan disana. Selama praktikum saya hanya mewawancarai orang-orang yang sebaya dengan saya, sehingga ketika saya mewawancarai nenek tersebut saya merasa agak canggung. Kecanggungan yang saya rasakan tersebut lebih banyak dikarenakan perbedaan usia yang sangat jauh antara interviewee dan saya. Selain itu, keadaan interviewee yang tinggal di panti dan jauh dari keluarga sempat membuat saya sedih. Saat wawancara berlangsung, volume suara interviewee terlampau amat kecil dan sulit didengar, terutama karena kondisi panti yang sedang direnovasi. Interviewer juga memiliki atensi yang kurang sehingga terkadang perhatiannya teralihkan kepada orang yang berlalu lalang didepannya. Agak sulit untuk membuka masa lalu sang interviewee karena kadang ia tidak mau menjawab pertanyaan dan dengan sengaja mengalihkan perhatiannya.
Dari seluruh praktikum yang telah saya lakukan, saya mendapatkan pelajaran berharga. Pelajaran tersebut adalah setiap orang berbeda. Ada yang mudah untuk terbuk dan ada yang sulit untuk terbuka kepada orang lain, sedekat apapun ia dengan orang tersebut. Untuk itu, sangat diperlukan keahlian dalam bertanya, bagaimana bertanya tanpa menyakiti perasaandan bagaimana bertanya untuk mendapatkan informasi lebih. Nampaknya saya masih belum memiliki keahlian-keahlian tersebut. Seperti kata dosen mata kuliah Teknik Wawancara, Ibu Henny E. Wirawan, Jam terbang akan membantu seorang pewawancara untuk lebih terbiasa dan lebih mendalami keahlian yang harus dimiliki untuk menjadi seorang pewawancara handal. Oleh karena itu, saya berharap dapat mendapatkan kesempatan di mata kuliah lain dan juga di masa yang akan datang untuk melatih dan membiasakan diri agar dapat menjadi pewawancara yang baik.
20 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar