Thankyou for some experiences Mam Henny ;) (S. Rahayu Ningrum)
Pada blog kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya selama mengikuti mata kuliah teknik wawancara, disamping mendapatkan dosen yang luar biasa humoris dan super wawasannya, saya juga medapatkan pengalaman lain pada mata kuliah ini. Pada tanggal 18 mei 2013 lalu, saya mendapatkan tugas mewawancarai lansia di Rumah Perlindungan Lanjut Usia, Jelambar. Saya mewawancarai oma yang berusia kurang lebih 57 tahun, ia memiliki pengalaman yang lama menjadi baby sitter. Cerita akan kehidupannya membuat saya belajar bahwa saya tidak memiliki harta yang cukup besar untuk membayar kasih sayang orangtua. Oma tersebut berada di RPLU karena ia pun tidak tahu mengapa ia bisa berada disitu awalnya, setelah mengunjungi anaknya di Kalimantan, ia di ‘giring’ petugas dan dibawa ke RPLU yang padahal oma tersebut ingin naik kendaraan umum ke rumahnya. Oma ini memiliki 2 anak perempuan yang sudah besar, anaknya yang pertama telah menikah dan ikut bersama suaminya. Anak bungsunya pun ikut bersama kakaknya. Namun ironisnya, anaknya tersebut tidak mengizinkan mama kandungnya untuk ikut bersama mereka. Mereka ‘membuang’ ibu yang telah mengandung dan merawatnya sampai besar dan sukses tersebut, anak pertamanya pun tidak memberikan uang sepeserpun pada ibu mereka yang hendak pulang ke Jakarta dengan alasan tidak memiliki uang.
Oma ini sudah ditinggal pergi suaminya sejak lama, suaminya meninggal karena sakit. Oma ini merasa bahwa ia merasa nyaman tinggal di RPLU sekarang ini yang baru ditempatinya sejak 3 bulan terakhir. Ia merasa bahwa di tempat tersebut banyak yang memperhatikan dirinya, segala macam kebutuhan pokok pun terpenuhi selama ia tinggal di RPLU tersebut. Melihat para lansia berada di Rumah Perlindungan Lanjut Usia saja saya sudah berpikir “mengapa anak-anak dan keluarga mereka begitu tega menaruh mereka disitu, apa mereka tidak ingat sewaktu mereka kecil siapa yang urus?”, ditambah oma dan opa yang berada di RPLU tersebut ada beberapa yang jarang sekali dijenguk oleh keluarganya, bahkan ada yang hingga 9 tahun tidak bertemu dengan keluarganya.
Hal ini membuat saya belajar bahwa saya tidak boleh seperti itu, setua atau setidak mampu apapun orangtua saya untuk mengerjakan sesuatu, saya harus tetap mencintai dan menjaga mereka seperti apa yang mereka lakukan sewaktu saya masih tidak dapat melakukan dan tidak mengetahui apa-apa.
Setelah mendapakan pengalaman mengunjungi panti Lansia, saya disuguhi pengalaman praktek menjadi interviewer dalam 3 setting wawancara. Pertama setting PIO, pada kesempatan wawancara pertama kali itu saya tegang, maklum baru pertama kali praktek hehe. Yang paling bikin tegang itu ya saat jadi pewawancara, karena waktu berperan jadi klien atau observer sih biasa aja. Pada saat jadi pewawancara, sebisa mungkin saya praktekan apa yang telah saya pelajari, dari membina rapport dengan mempersilahkan klien masuk dan duduk, mempraktekan muka “flat”, encourage dan attending behavior. Lalu dampak lain dari ketegangan tersebut adalah saya tidak mencatat!! Hahaha… sudah berasa jadi interviewer yang memiliki jam terbang yang tinggi saja, seharusnya saya mencatat setiap informasi penting yang disampaikan klien. Saya juga berperan sebagai klien yang memiliki masalah sebagai agen asuransi, karena saya pernah beberapa waktu lalu menjadi agen asuransi, jadi lah saya mengarang cerita sesuai dengan pengalaman yang saya dapatkan. Hasilnya, yang wawancara malah senang mendapatkan informasi yang sesuai hehe.
Pada praktek wawancara kedua, settingnya pendidikan. Kalau pada setting ini sejujurnya saya merasa sudah lebih santai dibanding sebelumnya, secara gitu kan udah dapet pelajaran di praktek pertama. Lagipula pada setting pendidikan ini, saya berhadapan dengan siswa SMA yang ketahuan merokok di sekolahnya, saya merasa pernah berada di bangku SMA jadi saya tahu bagaimana bahasa yang tepat untuk digunakan pada anak SMA. Hanya saja saya melakukan kesalahan seperti mengucapkan kata “saya mendengar katanya kamu ketahuan merokok ya di kantin belakang sekolah?”, seharusnya kalimat tersebut tidak boleh digunakan. Saya juga berperan sebagai klien dimana memiliki masalah suka tidur di kelas, berhubung sewaktu SMA saya memiliki teman yang pernah ketiduran di kelas, jadi lah pengalaman teman saya tersebut saya gunakan sebagai acuan menjadi klien tersebut hehehe, hasilnya si pewawancara girang karena mendapatkan klien seperti saya yang porsi informasinya pas dan sesuai yang ia harapkan *benerin kerah* hehehe..
Nah… kalau setting yang terakhir ini setting klinis. Ampun, saya sih awal merasa aneh ya karena tidak seperti pada praktek-praktek sebelumnya. Pada awalnya, saya kebagian pertama kali menjadi klien. Awal saya dipersilahkan masuk dan duduk oleh pewawancara, saya ditanya sudah makan atau belum, lalu ia bertanya lagi “ada masalah yang ingin diceritakan?” jujur saya bingung, kok tiba-tiba ditanya seperti itu tidak ada pertanyaan yang mengarahkan agar saya bisa cerita. Karena awalnya hanya diberi tahu bahwa saya menjadi klien yang memiliki pandangan tubuhnya tidak ideal. Saya pikir awalnya ditanya apa dulu, lalu nanti saya melanjutkan, tapi ternyata tidak. Lalu kedua saya menjadi observer, pada saat menjadi observer tersebut saya belajar bagaimana nanti saya ketika menjadi pewawancara, pertanyaan apa yang akan saya tanyakan pada klien pada saat sesi wawancara. Lalu pada saat saya jadi pewawancara, saya praktekan lah apa yang saya pelajari pada saat mengobservasi observee, dan kebetulan saya juga mendapatkan klien yang pintar memperagakan menjadi klien yang memiliki gangguan bulimia nervosa :p
Yah dari pengalaman demi pengalaman yang saya dapatkan di mata kuliah Teknik Wawancara ini sih saya senang, karena penjelasan dari dosen pun yang menjelaskannya tidak membosankan dan disertai dengan lawakan-lawakan yang segar, cukup membuat saya tidak mau melewatkan mata kuliah ini tiap minggunya *padahal pernah bolos 2x, pertama karena ketiduran dan yang kedua karena kehujanan di jalan jadi ga dapet absen* hehehe, juga karena candaan-candaan bu Henny yang asik didengar tersebut membuat saya tidak terasa mengikuti mata kuliah Teknik Wawancara tiap minggunya, tanpa sadar tahu-tahu sudah 2 jam saja berlangsung. Lebih enaknya lagi sih karena ada jatah istirahatnya sekitar 10-15 menit hehehe…
5 Juni 2013
Oma ini sudah ditinggal pergi suaminya sejak lama, suaminya meninggal karena sakit. Oma ini merasa bahwa ia merasa nyaman tinggal di RPLU sekarang ini yang baru ditempatinya sejak 3 bulan terakhir. Ia merasa bahwa di tempat tersebut banyak yang memperhatikan dirinya, segala macam kebutuhan pokok pun terpenuhi selama ia tinggal di RPLU tersebut. Melihat para lansia berada di Rumah Perlindungan Lanjut Usia saja saya sudah berpikir “mengapa anak-anak dan keluarga mereka begitu tega menaruh mereka disitu, apa mereka tidak ingat sewaktu mereka kecil siapa yang urus?”, ditambah oma dan opa yang berada di RPLU tersebut ada beberapa yang jarang sekali dijenguk oleh keluarganya, bahkan ada yang hingga 9 tahun tidak bertemu dengan keluarganya.
Hal ini membuat saya belajar bahwa saya tidak boleh seperti itu, setua atau setidak mampu apapun orangtua saya untuk mengerjakan sesuatu, saya harus tetap mencintai dan menjaga mereka seperti apa yang mereka lakukan sewaktu saya masih tidak dapat melakukan dan tidak mengetahui apa-apa.
Setelah mendapakan pengalaman mengunjungi panti Lansia, saya disuguhi pengalaman praktek menjadi interviewer dalam 3 setting wawancara. Pertama setting PIO, pada kesempatan wawancara pertama kali itu saya tegang, maklum baru pertama kali praktek hehe. Yang paling bikin tegang itu ya saat jadi pewawancara, karena waktu berperan jadi klien atau observer sih biasa aja. Pada saat jadi pewawancara, sebisa mungkin saya praktekan apa yang telah saya pelajari, dari membina rapport dengan mempersilahkan klien masuk dan duduk, mempraktekan muka “flat”, encourage dan attending behavior. Lalu dampak lain dari ketegangan tersebut adalah saya tidak mencatat!! Hahaha… sudah berasa jadi interviewer yang memiliki jam terbang yang tinggi saja, seharusnya saya mencatat setiap informasi penting yang disampaikan klien. Saya juga berperan sebagai klien yang memiliki masalah sebagai agen asuransi, karena saya pernah beberapa waktu lalu menjadi agen asuransi, jadi lah saya mengarang cerita sesuai dengan pengalaman yang saya dapatkan. Hasilnya, yang wawancara malah senang mendapatkan informasi yang sesuai hehe.
Pada praktek wawancara kedua, settingnya pendidikan. Kalau pada setting ini sejujurnya saya merasa sudah lebih santai dibanding sebelumnya, secara gitu kan udah dapet pelajaran di praktek pertama. Lagipula pada setting pendidikan ini, saya berhadapan dengan siswa SMA yang ketahuan merokok di sekolahnya, saya merasa pernah berada di bangku SMA jadi saya tahu bagaimana bahasa yang tepat untuk digunakan pada anak SMA. Hanya saja saya melakukan kesalahan seperti mengucapkan kata “saya mendengar katanya kamu ketahuan merokok ya di kantin belakang sekolah?”, seharusnya kalimat tersebut tidak boleh digunakan. Saya juga berperan sebagai klien dimana memiliki masalah suka tidur di kelas, berhubung sewaktu SMA saya memiliki teman yang pernah ketiduran di kelas, jadi lah pengalaman teman saya tersebut saya gunakan sebagai acuan menjadi klien tersebut hehehe, hasilnya si pewawancara girang karena mendapatkan klien seperti saya yang porsi informasinya pas dan sesuai yang ia harapkan *benerin kerah* hehehe..
Nah… kalau setting yang terakhir ini setting klinis. Ampun, saya sih awal merasa aneh ya karena tidak seperti pada praktek-praktek sebelumnya. Pada awalnya, saya kebagian pertama kali menjadi klien. Awal saya dipersilahkan masuk dan duduk oleh pewawancara, saya ditanya sudah makan atau belum, lalu ia bertanya lagi “ada masalah yang ingin diceritakan?” jujur saya bingung, kok tiba-tiba ditanya seperti itu tidak ada pertanyaan yang mengarahkan agar saya bisa cerita. Karena awalnya hanya diberi tahu bahwa saya menjadi klien yang memiliki pandangan tubuhnya tidak ideal. Saya pikir awalnya ditanya apa dulu, lalu nanti saya melanjutkan, tapi ternyata tidak. Lalu kedua saya menjadi observer, pada saat menjadi observer tersebut saya belajar bagaimana nanti saya ketika menjadi pewawancara, pertanyaan apa yang akan saya tanyakan pada klien pada saat sesi wawancara. Lalu pada saat saya jadi pewawancara, saya praktekan lah apa yang saya pelajari pada saat mengobservasi observee, dan kebetulan saya juga mendapatkan klien yang pintar memperagakan menjadi klien yang memiliki gangguan bulimia nervosa :p
Yah dari pengalaman demi pengalaman yang saya dapatkan di mata kuliah Teknik Wawancara ini sih saya senang, karena penjelasan dari dosen pun yang menjelaskannya tidak membosankan dan disertai dengan lawakan-lawakan yang segar, cukup membuat saya tidak mau melewatkan mata kuliah ini tiap minggunya *padahal pernah bolos 2x, pertama karena ketiduran dan yang kedua karena kehujanan di jalan jadi ga dapet absen* hehehe, juga karena candaan-candaan bu Henny yang asik didengar tersebut membuat saya tidak terasa mengikuti mata kuliah Teknik Wawancara tiap minggunya, tanpa sadar tahu-tahu sudah 2 jam saja berlangsung. Lebih enaknya lagi sih karena ada jatah istirahatnya sekitar 10-15 menit hehehe…
5 Juni 2013
0 komentar:
Posting Komentar