OPTIMISM AND PERFORMANCE (Cecilia Octaviani)
Kecenderungan individu adalah bertanya-tanya mengenai apa yang salah dengan sesuatu kejadian/hal spesifik, tanpa melihat apa yang benar pada hal spesifik tersebut. Hal ini membuat ketimpangan, sehingga untuk mengatasinya, dibuatlah konsep psikologi positif. Pada PIO, konsep dan teori mengenai psikologi positif digunakan untuk melihat konstruk apa yang dapat meningkatkan produktivitas, motivasi kerja, work engagement, job satisfaction, dll dalam diri pekerja. Beberapa konstruk yang berkaitan adalah self-efficacy, optimism, hope, dan resiliency. Pada bagian ini, saya lebih berfokus untuk membahas hubungan antara optimism dengan performance kerja.
Ada dua sudut pandang mengenai konsep optimism. Pertama, optimisme didefinisikan sebagai keyakinan yang menggiring dalam meraih harapan yang telah kita tentukan. Dalam hal ini, optimism terjadi karena individu expect good thing to happen with themselves. Pada kehidupan sehari-hari, hal pertama yang ‘seharusnya’ dilakukan oleh tiap individu beragama yang memiliki iman adalah berdoa. Dalam doa, yang kita ucapkan adalah rasa syukur atas nafas pagi yang baru, dan harapan kita untuk menjalani hari dengan lancar dan baik. Dengan melakukan doa sebelum menjalani hari, hal tersebut menjadi tanda bahwa kita optimis dalam menjalani keseharian, karena kita berekspektasi dan berharap bahwa hari kita akan baik dan lancar.
Pada bidang industri, seorang pekerja dapat memiliki tingkat optimisme yang tinggi dalam menyelesaikan tugasnya. Hal tersebut dapat dikarenakan mereka menginginkan hasil kerjanya dapat dibanggakan oleh atasan, tidak lembur bekerja hingga larut malam, menunjukkan potensi kerjanya dalam kaitannya untuk meminta promosi kerja, dan sebagainya. Ketika seorang pekerja memiliki tingkat optimisme yang rendah—pesimis, kecenderungannya adalah mereka akan berpikir bahwa mereka tidak mampu mengerjakan tugas yang telah diberikan, bergantung kepada orang lain, dan kegiatan perform dalam kinerja menurun. Dapat dilihat bahwa memang benar, optimisme berpengaruh besar terhadap performance kerja seorang karyawan.
Konsep kedua, bahwa persepsi mempengaruhi tingkat optimisme seseorang. Hasil dari persepsi memberikan perbedaan sudut pandang dalam melihat sebuah kejadian. Ketika terjadi suatu kejadian buruk, orang dengan kecenderungan pesimis akan menyalahkan dirinya sendiri, berpikir bahwa kejadian buruk tersebut akan berlangsung berlarut-larut, dan berpengaruh terhadap setiap aspek dalam kehidupannya, sehingga tidak ada kinerja atau potensi yang dikeluarkan. Pada kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan individu yang kecenderungannya menyalahkan dirinya sendiri dan menganggap dunia runtuh apabila terjadi suatu kejadian yang buruk. Misalnya, anak SMA yang bunuh diri dengan lompat ke kali Cisadane, Tangerang, karena tidak lulus ujian nasional. Sudut pandang yang digunakan pelaku bunuh diri ini adalah pesimisme, walaupun sebenarnya ada pilhan-pilihan lain yang dapat diambil selain bunuh diri, misalnya mengambil paket C ujian nasional.
Sebaliknya, orang yang memandang kejadian buruk sebagai hal yang biasa, terjadinya hanya sesaat dan dalam hal-hal spesifik, melihat kesulitan sebagai sebuah tantangan dalam mencapai suatu prestasi. Sehingga, perilaku yang muncul adalah semakin termotivasi dan optimis dalam mengejar prestasi. Pada konsep kedua ini, sikap optimisme dan pesimisme yang muncul akibat perbedaan persepsi ada pengaruhnya terhadap tingkat kemampuan resiliensi yang berbeda antar tiap individu. Pada kehidupan nyata, kita dapat menemukan sikap optimisme pada diri sosok entrepreneur Bob Sadino. Beliau pernah sangat amat bangkrut, tetapi pada kenyataannya beliau tetap optimis, terus perform dan menjalankan usahanya, sehingga bisa sukses seperti sekarang ini.
Pada bidang industri, perbedaan persepsi terhadap sebuah kejadian juga mempengaruhi tingkat optimisme pekerja. Ketika dimarahi oleh atasan karena pekerjaan yang dibuat kurang benar, orang dengan kecenderungan pesimis akan menyalahkan dirinya, menganggap dirinya kurang mampu, sedih berkelanjutan, menimbulkan stress kerja, dan bahkan ekstrimnya meminta resign. Orang yang mengalami hal tersebut diatas pastilah menurunkan performance kerjanya, karena fokusnya terganggu untuk selalu memikirkan omelan atasannya tersebut. Tetapi lain halnya dengan orang yang optimisnya tinggi. Ketika dimarahi karena pekerjaannya kurang benar, orang dengan kecenderungan optimis akan percaya diri bahwa dirinya dapat bekerja lebih baik lagi dengan mempelajari kesalahannya, membenarkan, dan tidak mengulanginya kembali, sehingga performance kerjanya meningkat.
Pada pembahasan diatas dapat kita lihat bahwa memang benar, kedua konsep optimisme mempengaruhi kinerja dan performance kerja secara signifikan. Diharapkan dari pembahasan ini, karyawan pada bidang industri lebih dapat mengusahakan untuk menumbuhkan optimisme dalam diri sehingga hasil dari kinerja dapat tersalurkan secara maksimal.
0 komentar:
Posting Komentar