“Resiliency: Senjata Wajib dalam Hidup” (Maria Theresia A. F.)



Pepatah lama mengatakan, manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang menentukan. Seringkali, jalan hidup akan menyimpang dari apa yang kita harapkan atau rencanakan, walaupun kita telah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mencapai tujuan. Pada saat-saat dimana kita menemukan diri kita dalam situasi yang tak terduga dan stressful, akan sangat mudah bagi kita untuk terpuruk di bawah tekanan dan menyerah. Pada saat-saat inilah kita membutuhkan resiliency.
Apakah resiliency? Resiliency merupakan kemampuan untuk bangkit kembali dari peristiwa yang mengguncangkan. Peristiwa yang menyebabkan keguncangan tersebut umumnya bersifat negatif, dapat berupa rintangan, kegagalan, atau kehilangan; misalnya, jalanan yang macet saat kita telat ke kantor, usaha bisnis yang tidak sukses dan bangkrut, dan hilangnya pasangan hidup kita. Peristiwa tersebut juga dapat bersifat positif, dimana suatu peristiwa yang terlalu menguntungkan tidak diikuti dengan proses adaptasi yang sesuai, dan justru membawa stres yang berat bagi kita; misalnya, seseorang yang usaha bisnisnya sukses dan menghasilkan banyak uang, menghabiskan uang tersebut dengan berfoya-foya dan justru mengalami kerugian finansial besar. Peristiwa tersebut juga dapat berupa musibah besar, seperti rumah yang habis terbakar, atau masalah sehari-hari, seperti listrik yang mati saat sedang mengerjakan tugas dengan deadline yang dekat.
Peristiwa-perisitiwa tak terduga tidak dapat dihindari sepanjang hidup kita. Namun, kita dapat mempersiapkan diri untuk saat-saat tersebut dengan membangun resiliency. Maka, pentingnya resiliency sebagai suatu karakteristik yang patut dimiliki tidak dapat dipungkiri; resiliency merupakan "senjata kita dalam melawan rintangan-rintangan hidup.
Untuk menerapkan konsep resiliency dalam kehidupan sehari-hari, mari kita ambil contoh kasus yang sering ditemukan, baik di dunia pekerjaan, bisnis, bahkan perkuliahan. Michael baru saja dipercayakan dengan suatu proyek besar, kompleks, dan penting, dengan deadline yang cepat. Proyek ini lebih sulit dari yang biasa Michael tangani dan saat mengerjakannya Michael merasa kewalahan dan stres.
Bagaimana Michael, dan kita sendiri, dapat membangun resiliency? Ann Masten, seorang pakar positive psychology, telah menemukan 3 faktor yang mempengaruhi resiliency seorang individu; assets (aset-aset), risk factors (faktor- faktor risiko), dan adaptational process (proses adaptasi).
Assets merupakan hal-hal yang kita miliki atau yang ada dalam jangkauan kita yang dapat membantu mengatasi masalah yang kita hadapi. Assets dapat berupa pengetahuan, pelatihan, dan hubungan-hubungan sosial. Kita dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas assets yang kita miliki dengan memperluas pengetahuan kita tentang berbagai macam topik; hal ini dapat dilakukan dengan banyak membaca, menonton TV, mendengar radio, atau bertukar informasi dengan orang lain. Pengalaman masa lalu juga dapat menjadi bagian dari pelatihan yang kita miliki; semakin bervariasi pengalaman kita, semakin luas assets kita. Rekan kerja, teman, atau keluarga kita juga berupa asset; mereka bisa mengetahui, memiliki, dan melakukan apa yang tidak kita ketahui, miliki, atau mampu lakukan. Dengan melakukan riset tentang proyek yang ia lakukan, memikirkan tentang pengalamannya mengerjakan proyek-proyek yang mirip di masa lalu, dan menanyakan teman-temannya seputar proyek yang ia kerjakan, Michael dapat meningkatkan asset-nya dan, dengan itu, resiliency-nya.
Kebalikan dari assets, risk factors adalah segala hal yang menghalangi kemungkinan kita untuk mengatasi masalah yang kita hadapi. Risk factors dapat berupa psikologis dan fisik, seperti kecenderungan penyakit jantung atau kepribadian yang cepat cemas (neurotic); dengan menjaga kesehatan kedua aspek ini, kita dapat meminimalisir risk factors kita dan meningkatkan resiliency. Michael, contohnya, dapat melampiaskan dan mengurangi rasa stres dengan berolah raga, suatu aktivitas yang mendukung kesehatan psikologis dan fisiknya.
Faktor ketiga yang mempengaruhi resiliency kita adalah adaptational processes. Resiliency muncul saat kita memiliki keuletan untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berganti dan menantang; dalam kata lain, resiliency akan muncul bila kita menerapkan proses adaptasi yang baik. Sikap optimis, memiliki kepercayaan bahwa rintangan dapat dilalui, mengetahui cara-cara efektif untuk menangani stres, dan melakukan goal setting yang efektif dapat membantu Michael, dan kita sendiri, untuk mengembangkan adaptational process yang baik.


0 komentar:

Posting Komentar