Hak-hak Remaja Masih Terabaikan
DiJakrta Jumlah remaja usia 10-24 tahun di Indonesia 63,4 juta orang pada 2010 atau 26,7% dari jumlah total penduduk. Namun, pemenuhan terhadap hak kesehatan reproduksi dan seksual mereka oleh negara amat kurang. Mereka dianggap anak-anak, padahal sudah aktif secara seksual.
”Jika semua anak muda berpendidikan dan sehat, termasuk kesehatan reproduksinya, maka akan berdampak besar bagi pembangunan,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di rekaman videonya pada seminar Hari Ulang Tahun Ke-55 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia di Jakarta.
Nafsiah mengatakan, generasi muda saat ini banyak menghadapi tantangan. Di satu sisi, informasi kesehatan reproduksi yang menyesatkan dan film porno mudah diakses. Namun, layanan kesehatan reproduksi yang aman dan bermutu kurang.
Padahal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjamin hak setiap orang mendapat layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta mendapat informasi dan edukasi kesehatan. UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak pun menjamin tiap anak tumbuh dan berkembang, serta mendapat layanan kesehatan.
”Tak ada hambatan memberi layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi untuk remaja,” .
Kenyataan di lapangan masih mengabaikan pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (KRS) remaja. Data PKBI, setiap tahun 15 juta remaja usia 15-19 tahun melahirkan. Sebanyak 60 % dari 270.000 pekerja seks perempuan adalah remaja.
Selain itu, 20 % dari 2,3 juta kasus aborsi dilakukan remaja dan 900.000 perempuan muda aborsi berujung maut.
Umumnya, remaja punya pengalaman seksual meski sering kali dipaksa. Ini membuat remaja, khususnya perempuan, tak siap dengan relasi seksual sehat.
Kondisi ini rentan membuat remaja terjebak perilaku seks berisiko, hamil tak diinginkan, aborsi tak aman, putus sekolah, penyakit menular seksual, hingga kekerasan seksual.
Sayangnya, pendidikan KRS untuk remaja belum sistematis. Masih ada pandangan keliru dengan pendidikan ini, baik berdasar agama, budaya, maupun pandangan soal seksualitas. Pendidikan KRS dinilai mendorong seks pranikah, melegalkan homoseksualitas, dan mengancam nilai dan budaya.
”Jika semua anak muda berpendidikan dan sehat, termasuk kesehatan reproduksinya, maka akan berdampak besar bagi pembangunan,” kata Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di rekaman videonya pada seminar Hari Ulang Tahun Ke-55 Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia di Jakarta.
Nafsiah mengatakan, generasi muda saat ini banyak menghadapi tantangan. Di satu sisi, informasi kesehatan reproduksi yang menyesatkan dan film porno mudah diakses. Namun, layanan kesehatan reproduksi yang aman dan bermutu kurang.
Padahal, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjamin hak setiap orang mendapat layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta mendapat informasi dan edukasi kesehatan. UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak pun menjamin tiap anak tumbuh dan berkembang, serta mendapat layanan kesehatan.
”Tak ada hambatan memberi layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi untuk remaja,” .
Kenyataan di lapangan masih mengabaikan pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas (KRS) remaja. Data PKBI, setiap tahun 15 juta remaja usia 15-19 tahun melahirkan. Sebanyak 60 % dari 270.000 pekerja seks perempuan adalah remaja.
Selain itu, 20 % dari 2,3 juta kasus aborsi dilakukan remaja dan 900.000 perempuan muda aborsi berujung maut.
- Minim informasi dan akses
Umumnya, remaja punya pengalaman seksual meski sering kali dipaksa. Ini membuat remaja, khususnya perempuan, tak siap dengan relasi seksual sehat.
Kondisi ini rentan membuat remaja terjebak perilaku seks berisiko, hamil tak diinginkan, aborsi tak aman, putus sekolah, penyakit menular seksual, hingga kekerasan seksual.
Sayangnya, pendidikan KRS untuk remaja belum sistematis. Masih ada pandangan keliru dengan pendidikan ini, baik berdasar agama, budaya, maupun pandangan soal seksualitas. Pendidikan KRS dinilai mendorong seks pranikah, melegalkan homoseksualitas, dan mengancam nilai dan budaya.
0 komentar:
Posting Komentar