Belajar dengan 3+1 (Dionysius Dias Ardi Nugroho)
Saat berada di usia lima tahun, saya senang sekali berkhayal. Khyalan itu semakin kuat karena adanya media televisi. Televisi memberikan berbagai sajian mulai dari film kartun hingga lagu anak-anak. Di tahun 90an, lagu anak-anak memang banyak muncul di televisi. Itulah yang membedakan anak-anak zaman sekarang dengan anak-anak zaman 90an. Di zaman ini, anak-anak secara tidak langsung mengonsumsi lagu-lagu pop atau lagu-lagu galau dan teknologi yang semakin canggih.
Membahas mengenai imajinasi dan lagu anak-anak, kedua hal ini berbanding lurus pada tahun 90an. Mungkin Anda tahu mengenai penggalan lagu, “Susan, susan, kalo gede ingin jadi apa? Ingin jadi dokter nyuntik orang sakit.” Lagu tersebut menjadi popular sehingga, anak-anak sekolah jika ditanya cita-cita, sebagian besar menjawab ingin menjadi dokter. Hal itu membuktikan bahwa rangsangan visual dapat memperkuat imajinasi.
Saya pribadi juga mengagumi sosok presenter televisi yang membuat saya ingin terjun di dunia broadcasting, tetapi saat lulus SMA guru BP di sekolah memberi inspirasi untuk masuk jurusan psikologi. Masa-masa SMA adalah masa-masa yang membingungkan untuk menentukan jurusan kuliah. Waktu terus berjalan sampai saat ini yaitu tahun 2013 dan saya sudah berada di semester 6. Memasuki bulan Mei tandanya bulan terkahir untuk kuliah karena bulan Juni sudah memasuki masa ujian.
Di semester 6 juga menjadi waktu saya untuk mempelajari Teknik Wawancara (nama mata kuliah). Bulan Mei adalah waktu untuk belajar teknik wawancara yang sesungguhnya karena ada praktikum dan wawancara di suatu tempat. Pengalaman nyata yang saya dapat yaitu saat wawancara di salah satu panti tuna daksa di daerah Cengkareng. Saat saya mewawancarai seorang dari panti tersebut saya belajar hal baru. Orang tersebut pernah punya pengalaman pahit, tetapi ia mampu menerima kejadian yang dialami. Orang tersebut sederhana dan punya cita-cita ingin berguna bagi orang lain.
Teori wawancara yang saya pelajari sangat dapat diterapkan pada saat tersebut. Menurut saya, teknik wawancara harus selalu diterapkan karena berhubungan dengan soft skill. Saat bertemu orang dan melakukan wawancara, Anda tidak mungkin membuka buku melainkan membuat pembicaraan terus mengalir dan bermanfaat. Pengalaman praktikum dalam tiga bidang (klinis, I/O, dan pendidikan) membuat saya paham mengenai penempatan diri dan penyesuaian diri terhadap klien.
Saat praktikum di bidang industri/organisasi, teman saya memerankan klien yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Teman saya memberi gambaran yang membuat saya melatih empati. Saya juga menanyakan seputar aktivitas kantor, sebelum memulai wawancara. Saat saya berperan menjadi klien, saya belajar untuk merasakan atmosfer wawancara penerimaan kerja. Saat menjadi observer, saya melatih kemampuan saya mengamati teman yang melakukan wawancara di bidang industri/organisasi. Teman saya mampu melakukan wawancara dengan baik.
Minggu berikutnya adalah praktkum bidang pendidikan. Teman saya memerankan anak SMA yang salah memilih jurusan. Dalam hal pendidikan untuk menghangatkan suasana, pertanyaan yang muncul adalah mengenai aktivitas sekolah yang dilakukan. Saya juga menjadi anak yang salah jurusan saat teman saya menjadi psikolog pendidikan. Saat saya menjadi observer, teman saya mampu melakukan wawancara dengan baik.
Minggu terakhir adalah praktikum mengenai psikolog klinis. Pada kesempatan ini, untuk memerankan seorang klien, saya harus memahami teori-teori agar mampu memerankan orang yang memiliki masalah. Praktikum kali ini memang unik, untungnya saya mampu memerankan sehingga pewawancara mendapat data yang cukup.
Dari dua kesempatan belajar tersebut, saya menyimpulkan bahwa teknik wawancara itu sangat berguna. Perlunya membina hubungan baik yaitu dengan menanyakan seputar aktivitas dan hobi lawan bicara agar percakapan terasa lebih hangat. Berikutnya empati semakin meningkat setelah mendengar cerita lawan bicara. Dan yang terakhir, adalah fokus kepada lawan bicara. Fokus memberikan ketenangan pada lawan bicara karena kita memberikan keyakinan bahwa kita masih mendengarkan dia. Akhir kata, kombinasi imajinasi dan visual yang saya alami dalam mempelajari teknik wawancara dapat membantu saya untuk menjalani kehidupan agar berguna dan tidak mengecewakan orang lain.
26 Mei 2013
Membahas mengenai imajinasi dan lagu anak-anak, kedua hal ini berbanding lurus pada tahun 90an. Mungkin Anda tahu mengenai penggalan lagu, “Susan, susan, kalo gede ingin jadi apa? Ingin jadi dokter nyuntik orang sakit.” Lagu tersebut menjadi popular sehingga, anak-anak sekolah jika ditanya cita-cita, sebagian besar menjawab ingin menjadi dokter. Hal itu membuktikan bahwa rangsangan visual dapat memperkuat imajinasi.
Saya pribadi juga mengagumi sosok presenter televisi yang membuat saya ingin terjun di dunia broadcasting, tetapi saat lulus SMA guru BP di sekolah memberi inspirasi untuk masuk jurusan psikologi. Masa-masa SMA adalah masa-masa yang membingungkan untuk menentukan jurusan kuliah. Waktu terus berjalan sampai saat ini yaitu tahun 2013 dan saya sudah berada di semester 6. Memasuki bulan Mei tandanya bulan terkahir untuk kuliah karena bulan Juni sudah memasuki masa ujian.
Di semester 6 juga menjadi waktu saya untuk mempelajari Teknik Wawancara (nama mata kuliah). Bulan Mei adalah waktu untuk belajar teknik wawancara yang sesungguhnya karena ada praktikum dan wawancara di suatu tempat. Pengalaman nyata yang saya dapat yaitu saat wawancara di salah satu panti tuna daksa di daerah Cengkareng. Saat saya mewawancarai seorang dari panti tersebut saya belajar hal baru. Orang tersebut pernah punya pengalaman pahit, tetapi ia mampu menerima kejadian yang dialami. Orang tersebut sederhana dan punya cita-cita ingin berguna bagi orang lain.
Teori wawancara yang saya pelajari sangat dapat diterapkan pada saat tersebut. Menurut saya, teknik wawancara harus selalu diterapkan karena berhubungan dengan soft skill. Saat bertemu orang dan melakukan wawancara, Anda tidak mungkin membuka buku melainkan membuat pembicaraan terus mengalir dan bermanfaat. Pengalaman praktikum dalam tiga bidang (klinis, I/O, dan pendidikan) membuat saya paham mengenai penempatan diri dan penyesuaian diri terhadap klien.
Saat praktikum di bidang industri/organisasi, teman saya memerankan klien yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Teman saya memberi gambaran yang membuat saya melatih empati. Saya juga menanyakan seputar aktivitas kantor, sebelum memulai wawancara. Saat saya berperan menjadi klien, saya belajar untuk merasakan atmosfer wawancara penerimaan kerja. Saat menjadi observer, saya melatih kemampuan saya mengamati teman yang melakukan wawancara di bidang industri/organisasi. Teman saya mampu melakukan wawancara dengan baik.
Minggu berikutnya adalah praktkum bidang pendidikan. Teman saya memerankan anak SMA yang salah memilih jurusan. Dalam hal pendidikan untuk menghangatkan suasana, pertanyaan yang muncul adalah mengenai aktivitas sekolah yang dilakukan. Saya juga menjadi anak yang salah jurusan saat teman saya menjadi psikolog pendidikan. Saat saya menjadi observer, teman saya mampu melakukan wawancara dengan baik.
Minggu terakhir adalah praktikum mengenai psikolog klinis. Pada kesempatan ini, untuk memerankan seorang klien, saya harus memahami teori-teori agar mampu memerankan orang yang memiliki masalah. Praktikum kali ini memang unik, untungnya saya mampu memerankan sehingga pewawancara mendapat data yang cukup.
Dari dua kesempatan belajar tersebut, saya menyimpulkan bahwa teknik wawancara itu sangat berguna. Perlunya membina hubungan baik yaitu dengan menanyakan seputar aktivitas dan hobi lawan bicara agar percakapan terasa lebih hangat. Berikutnya empati semakin meningkat setelah mendengar cerita lawan bicara. Dan yang terakhir, adalah fokus kepada lawan bicara. Fokus memberikan ketenangan pada lawan bicara karena kita memberikan keyakinan bahwa kita masih mendengarkan dia. Akhir kata, kombinasi imajinasi dan visual yang saya alami dalam mempelajari teknik wawancara dapat membantu saya untuk menjalani kehidupan agar berguna dan tidak mengecewakan orang lain.
26 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar