Wawancara Dalam Prakteknya (Andi Yansen)
Selama satu bulan terakhir ini, kelas tekwan full dengan praktek. Prakteknya adalah melakukan wawancara. Selama 3 minggu wawancara dilakukan di ruang konseling di lt. 2 gedung K fak. Psikologi, dan pada hari sabtu, 11 Mei 2013, saya dan kelompok mendapatkan jatah wawancara di PSTW(Panti Sosial Tuna Werdha) Budi Mulia 2 di Cengkareng-Jakarta Barat, bersama dengan teman-teman yang lainnya juga.
Kita mulai dengan wawancara di ruang konseling ini. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Saat wawancara dilakukan, ada tiga kelompok yang terlibat. Ada kelompok yang menjadi pewawancara, ada kelompok yang menjadi subyek wawancara, dan ada yang menjadi observer. Wawancara dilakukan di ruangan kecil yang di dalamnya berisi meja, 2 atau tiga bangku dan jendela yang merupakan cermin observasi. Wawancara dilakukan selama 10 menit.
Kelompok pewawancara telah membuat pertanyaan-pertanyaan wawancara sebelumnya. Topik yang terkait adalah; di minggu pertama topiknya adalah di setting IO, di minggu kedua settingnya adalah di bidang pendidikan, dan di minggu ketiga settingnya adalah klinis. Kelompok subyek, harus berperan secara spontan mengikuti tema yang telah dibuat oleh kelompok pewawancara. Kelompok observer tugasnya adalah mengamati pewawancara dari ruangan lain melalui cermin 1 sisi, di mana observer dapat melihat dan mendengar melalui headset, dan pewawancara serta subyeknya tidak dapat melihat observer melalui cermin tersebut.
Pada minggu pertama, tema wawancara kami adalah karyawan perusahaan yang berselingkuh dengan teman sekantornya yang sudah menikah. Klien saya adalah teman sekelas saya. Dia memerankan seorang istri yang berselingkuh dengan bawahannya di kantor. Saat dia menjawab pertanyaan yang saya berikan, saya terpukau. Aktingnya benar-benar natural, seakan-akan itu pengalaman yang pernah dialaminya sendiri. Pada minggu pertama memang, sebagai pewawancara tentu ada rasa gugup dan takut, tetapi juga bersemangat. Kesalahan-kesalahan juga sering terjadi saat proses wawancara berlangsung. Saya pikir yang paling dinantikan saat minggu kedua adalah ketika kita menjadi klien/subyek, karena pada saat menjadi klien, inilah saatnya untuk ‘ngerjain’ si pewawancaranya.
Pada minggu kedua dan ketiga sudah mulai ada peningkatan dari semua peserta. Yang tadinya apda minggu pertama gugup dan takut dan melakukan banyak kesalahan, pada minggu kedua dan ketiga sudah semakin membaik. Tampaknya semua peserta malah menantikan giliran pada minggu kedua dan ketiga ini. Setelah selesai memainkan peran sebagai pewawancara, klien, maupun observer, peserta yang baru keluar dari ruangan konseling, apakah itu pewawancara, klien, ataupun observer, pasti menjadi heboh dan saling menceritakan pengalaman mereka selama 10 menit itu. Pengaalaman selama tiga minggu praktek wawancara ini sangat menyenangkan, selain dapat berlatih dan menambah pengalaman melakukan wawancara, kami juga mendapatkan hiburan, kegembiraan, dan canda tawa atas serunya cerita masing-masing kelompok dalam berperan.
Pada tanggal 11 Mei 2013, kelas kami mengunjungi 3 panti sosial. Saya dan kelompok beserta beberapa teman sekelas, mendapat giliran mewawancarai penghuni panti sosial di daerah Cengkareng. Panti tersebut dikelola oleh pemerintah setempat. Ruangan-ruangan di dalam panti cukup bersih, lega, terang dan tidak bau. Selain itu juga terdapat halaman yang besar dan banyak pohon-pohon rindang di tengah wisama-wisma panti tersebut.
Teman-teman saya banyak yang memulai wawancara dengan mudah dan baik. Sementara saya agak sulit dalam menentukan subyek untuk diwawancarai. Adapun teman sekelompok saya yang takut kepada nenek-nenek, mungkin dia mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan dengan nenek-nenek di masa lalunya. Akhirnya saya mencoba mendekati seorang nenek yang sedang dudul di ranjangnya, saat saya mendekat ia pun menceritakan tentang kakinya yang sakit, tidak dapat berjalan dan susah buang air besar. Selama kurang lebih 15 menit ia terus menceritakan hal tersebut berulang-ulang, dan ketika saya bertanya nama dan usianya, ia tidak merespon, dan terus bercerita tentang kakinya. Setelah beberapa kali mencoba bertanya tentang identitas dirinya dan tidak ada respon, saya pun pamit untuk berkeliling.
Saya pun mendatangi seorang kakek yang sedang merajut keset di meja. Lalu saya mencoba menanyakan apa yang sedang ia lakukan, dan melihat-lihat hasil karnyanya tersebut. Kemudian saya pun mengajaknya duduk dan mengobrol. Akhirnya kakek tersebut menjadi subyek saya, tentunya setelah informed consent diberikan. wawancara saya lakukan selama kurang lebih 1 jam.
Menurut saya, wawancara di panti ini menambah pengalaman kami dalam mewawancarai orang lansia. Dibandingkan dengan mewawancarai teman, wawancara kepada lansia ini terbilang sulit. Faktor usia, penurunan fisik dan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi juga membatasi usaha kami dalam melakukan wawancara. Klien saya saja contohnya, pendengarannya sudah menurun, jadi selama wawancara, saya harus berbicara cukup keras di samping telinganya agar ia dapat memahami pertanyaan saya. Belum lagi jika ia salah menangkap arti dari pertanyaan yang diberikan dan menjawab jawaban yang agak melenceng. Tapi itu semua menjadi pengalaman yang amat beharga bagi kami semua.
26 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar