Refleksi Praktikum Wawancara (Monica Unsri)

Saat menjalani praktikum di kelas Teknik Wawancara, saya mendapatkan pelajaran menarik mengenai cara untuk mewawancarai orang-orang yang berbeda setiap minggunya. Misalnya saja saat minggu pertama dengan setting PIO, kelompok saya mendapat giliran pertama sebagai pewawancara, sangat terasa groginya karena saya merasa seperti benar-benar sedang mewawancarai seseorang. Namun, hal-hal yang penting telah dipersiapkan dengan baik bersama dengan kelompok yang baik pula sehingga proses wawancara berjalan baik sampai ke dua minggu setelahnya dengan setting pendidikan dan klinis. Setelah menjalani tiga minggu praktikum dengan ‘klien’ yang berbeda, membuat saya merasa ini merupakan latihan wawancara yang sangat berarti saat harus mewawancarai yang sebenarnya nanti. Saya jadi mengetahui bahwa mewawancarai tidaklah semudah yang saya pikirkan sebelumnya, belum lagi jika klien tidak kooperatif dan sulit digali informasinya.
Akhirnya, tibalah saat dimana saya harus benar-benar melakukan wawancara yang sesungguhnya di sebuah panti tuna daksa di daerah Cengkareng. Klien benar-benar di depan mata, saya harus benar-benar membina rapor dan mengingat kembali ‘latihan’ yang sudah saya lakukan selama tiga minggu terakhir. Memang, pada pertama kunjungan saya mengalami kesulitan yaitu tidak mendapatkan subyek, tetapi tetap mencoba untuk melakukan wawancara dengan seorang subyek perempuan yang telah diwawancarai oleh teman saya yang lain. Kebetulan di panti itu subyek sebaya dengan saya. Namun, subyek tidak kooperatif dengan saya setelah saya ajak bicara dan sebagainya, sehingga saya memutuskan untuk harus kembali pada hari berikutnya.
Baru kemudian hari berikutnya, di siang itu saya bertemu dengan seorang subyek laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari saya dan ternyata memiliki semangat yang luar biasa dibalik kekurangan fisiknya. Proses wawancara berjalan dengan sangat baik. Subyek secara tidak langsung memberikan saya pelajaran yang sangat berharga bahwa dengan kekurangan yang dimilikinya, ia masih memiliki semangat dan tidak berkecil hati jika diremehkan orang lain. Ditambah lagi, subyek juga tidak menggunakan kekurangannya sebagai sarana meminta belas kasihan orang lain, tetapi ia memiliki kemauan untuk berkarya, bekerja, dapat berpikir positif di balik penderitaan yang dialaminya, dan bahkan mampu menghasilkan uang dengan keringatnya sendiri. Sekiranya kita, khususnya saya, dapat menyerap pelajaran berharga dari orang-orang yang berkekurangan seperti Beliau dengan mengucap syukur pada Tuhan atas hidup kita yang tidak berkekurangan dalam hal fisik dan menjalani hidup dengan tersenyum dan terus bersemangat setiap harinya.

Demikian refleksi praktikum saya pada kelas Teknik Wawancara. Tidak lupa juga saya untuk mengucapkan terimakasih pada dosen mata kuliah bersangkutan, Ibu Henny dan asistennya Kak Tasya yang telah dengan sangat baiknya menurut saya, mengajarkan kelas Teknik Wawancara secara atraktif dan tidak membosankan karena saya menyadari materi mata kuliah ini cukup berat jika tidak diperhatikan dengan baik, khususnya bagi saya.. Hehe.. Terimakasih, Bu. J

26 Mei 2013

0 komentar:

Posting Komentar