Refleksi Wawancara (Stephanie Angelica)

Pada bulan Mei, kelas Teknik Wawancara melakukan praktek wawancara dengan setting PIO, Pendidikan dan klinis. Praktek dilakukan di lab konseling di gedung K, lantai 2. Pada minggu pertama, kami melakukan wawancara dengan topik rekrutmen karyawan (pio).Karena pio adalah minat saya, maka tidak terlalu sulit untuk melakukan praktek wawancara dengan topik tersebut. Pada minggu kedua adalah pendidikan. Topik dari wawancara pendidikan adalah pemilihan jurusan perkuliahan. Pada saat SMA, saya pernah berada dalam posisi wawancara sebagai siswa yang memilih jurusan kuliah. Maka tidak terlalu sulit untuk menarik pertanyaan seputar topik tersebut. Minggu ketiga adalah topik klinis, yaitu anoreksia. Jujur saya tidak pernah memiliki bayangan wawancara klinis itu seperti apa dan bagaimana menarik pertanyaan dari klien yang merasa dirinya tidak memilki masalah dan merasa baik-baik saja. Hal tersebut yang membuat saya tidak dapat berkonsentrasi selama melakukan wawancara karena klien merasa dirinya baik-baik saja dan tidak mengetahui alasan mengapa ia datang ke psikolog. Namun saya jadi belajar untuk menjaga mood dan suka duka sebagai pewawancara.
       Praktek wawancara selanjutnya adalah wawancara lansia. Wawancara dengan lansia merupakan tugas akhir pada pelajaran teknik wawancara. Pada wawancara awal, saya berganti subyek hingga 5 kali. Tentu membuat sedikit frustasi mengingat ini sebagai tugas akhir. Pada lansia pertama, sudah diwawancarai sekitar 3 atau 4 pertanyaan, lalu mengatakan sesuatu yang tidak begitu jelas, dan setelah itu dia tidur. Pada lansia kedua, ditanya tentang suatu pertanyaan, tetapi menjawabnya tidak sesuai dan menggunakan bahasa Jawa. Pada lansia ketiga dan keempat menolak diwawancarai. Anehnya sebelum saya memasuki satu ruangan, lansia-lansia tersebut masih bangun. Setelah lansia keempat menolak, saya menoleh ke arah samping, langsung tidur semua. Yaaa, mungkin itu cara mereka menolak dengan halus. Saya mencari subyek kembali di tempat yang tidak jauh dari ruangan tersebut, ketika sedang meminta izin untuk diwawancara salah satu dari lansia tersebut, ada 1 penjaga yang mengatakan jangan mewawancarai mereka karena sudah mengalami gangguan. Akhirnya saya beralih mencari subyek seorang kakek-kakek. Saya melihat ada satu kakek yang ramah dan bersedia untuk di wawancara dan orang itu yang akhirnya yang menjadi subyek saya. Wawancara pun dimulai. Saya menyiapkan sekitar 20 pertanyaan dan habis dalam waktu sekitar 12 menit. Akhirnya saya terpaksa mencari pertanyaan berdasarkan pernyataan kakek yang masih dapat dikembangkan. Sebelumnya, saya pernah mewawancarai lansia pada kelas Gerontologi. Saya merasa orang yang berpendidikan dan tidak dapat diketahui dari bagaimana ia mengungkapkan pendapat dan perasaannya. Karena lansia-lansia yang saya wawancarai ada yang berkuliah dan bersekolah Belanda, maka tidak sulit menarik jawaban dengan hanya menggunakan open question. Namun kali ini, karena kakeknya tidak bersekolah, terlihat sulit melakukan open question. Sering kali, saya melakukan close question dan berhati-hati dalam menanyakan. Namun saya salut dengan perjuangan kakek tersebut selama hidup. Ia memberi nasehat agar saya  memilki hubungan intim dengan Tuhan dan memasrahkan segala sesuatu yang terjadi kepada Tuhan. Ya, setidaknya dengan perjuangan mencari lansia untuk yang diwawancarai, Tuhan menunjukkan kakek tersebut untuk mengajarkan sesuatu kepada saya :)

22 Mei 2013

0 komentar:

Posting Komentar