Lebih dari Pijat Refleksi, gunanya (Mellyta Novi Astuti)

     Beberapa minggu kemarin, kamis saya begitu padat dengan persiapan untuk praktik teknik wawancara di kampus. Bukan hanya hari saya saja, tapi tas saya yang penuh dengan baju dan sepatu rapi,  juga otak saya yang penuh dengan ekspektasi dan harapan bahwa ini semua akan berjalan dengan lancar tidak seperti jalanan jakarta yang tersendat di setiap hari. Minggu pertama merupakan praktik dengan setting Psikologi Industri dan Organisasi. Di minggu pertama saya masih sangat merasa gugup, maklum pertama kali melakukan wawancara sangat formal dan harus berpura-pura menjadi HRD yang baik serta menyenangkan. Selain kegugupan, pada praktik pertama ini saya juga merasa saya masih banyak melihat tuntunan wawancara yang ada, saya terlalu fokus dengan subyek sehingga lupa untuk mencatat kata kunci, dan yang paling menyebalkan adalah saya terbiasa untuk mewawancara menggunakan closed question yang secara tidak langsung dapat mengarahkan subyek dalam menjawab. Tapi si luar itu semua, saya beruntung memeiliki teman yang begitu kooperatif dan benar-benar dapat mengembangkan jawaban-jawabannya dengan baik.
Tibalah saya di minggu kedua dengan setting Psikologi Pendidikan. lancarnya minggu pertama membuat saya memiliki ekspektasi yang lebih bahwa minggu kedua ini akan menjadi lebih baik karena saya telah mengetahui letak kurang saya dan ini bukan pertama kalinya saya praktik. Dan akhirnya harapan saya perlahan luntur layaknya baju baru murah yang luntur saat pertama kali dicuci. Jawaban yang saya harapkan tidak sesuai dengan jawaban subyek saya. Jadi, skenario yang telah dengan apik saya ketik di dalam kepala saya tiba-tiba buyar karena subyek saya begitu berimprovisasi dengan baiknya…. jadi kelompok saya memilih kasus bahwa ada seorang anak yang ketahuan merokok dan akhirnya murid ini menjadi seorang perokok aktif di sekolah. Dan ternyata subyek saya begitu kreatifnya hingga dia menjawab bahwa dia hanya sekali merokok dan tidak merokok lagi. Pada saat itu saya langsung memutar pikiran saya mencari celah mana yang dapat saya gali infonya lagi karena semuanya sudah tidak sesuai dengan tuntunan wawancara. Saat minggu kedua ini walaupun saya merasa lebih sulit, namun saya berhasil melewatinya dengan lebih baik karena saya berhasil mengurangi kesalahan saya di minggu pertama. Namun di dalam praktik ini saya terkadang masih merasa bingung dengan apa yang harus saya tanyakan lagi sehingga terkadang pikiran saya harus memecah konsentrasi antara memperhatikan dan mendengarkan subyek dengan mencari apa yang harus ditanyakan.
     Setting klinis merupakan setting terakhir yang harus saya lewati dalam praktik teknik wawancara. Setting ini meerupakan minggu dengan setting yang paling saya suka. Bukan karena saya menyukai psikologi klinis, namun karena saya merasa bahwa saya sangat siap dengan praktik kali ini. Saya berusaha mungkin tidak berpaku pada tuntunan wawancara, tidak tegang, dan berusaha menguasai kasus mengenai bulimia nervosa. Saat saya melakukan wawancara, subyek yang saya wawancarai sangat menyenangkan. Dia berhasil mengembangkan semua jawaban sesuai harapan saya, bahkan lebih. Saya benar-benar merasa dapat menangani kegugupan saya saat minggu ketiga ini. Namun masalah saya masih sama, begitu sulit membagi konsentrasi saya dalam memperhatikan pernyataan kubyek dengan memikirkan pertanyaan apa lagi yang harus saya keluarkan kembali agar info yang saya dapatkan lebih banyak dan wawancara berhenti setelah 10 menit.
     Diantara praktik yang saya lakukan di kampus, saya juga melakukan praktik wawancara di sebuah panti werdha yang berada di daerah Jelambar. Nah, ini lebih membuat gugup dan takut karena teman-teman yang sudah duluan praktik dari kelas lain mengatakan bahwa sulit mendapat subjek yang dapat diajak bekerja sama. Dengan modal pertanyaan dan recorder di tangan, sesampainya disana saya segera mendatangi seorang nenek yang sedang asik membuat keset dan memang nampaknya Tuhan dan semestaNya begitu mendukung saya untuk berkembang, nenek ini begitu ramah dan dapat diajak wawancara tanpa rintangan yang membuat saya bingung. Saya mewawancarainya dengan cukup baik, begitu banyak ilmu yang diberikan Bu Henny dan Ka Tasya yang dapat saya terapkan waktu itu. Subyek juga bukan merupakan orang yang sulit digali informasinya. Namun memang saya harus mengucapkan beberapa closed question agar dia dapat lebih mengerti dengan pertanyaan yang saya lontarkan. Akan tetapi sayangnya, karena tangan saya sibuk memegang recorder dan tuntunan wawancara saya tidak dapat mengobservasi subyek terlalu banyak dan tidak dapat mencatat kata kunci yang diucapkan subyek. Saya hanya dapat mengingat sebagian besar di dalam otak saya.
Namun, beberapa minggu kemudian saat saya ingin mulai mengolah semua karya saya menjadi tulisan. Rekaman yang saya sayangitersebut menghilang. Rasanya seperti digigit semut tapi tidak hanya satu semut namun banyak, banyak sekali. Namun saya tidak mau menyerah disitu dan kalah sama keadaan. Jadi besoknya saya langsung kembali menuju ke Jelambar mencoba akan mewawancarai subyek saya kembali. Sesampainya disana, ternyata panti di Jelambar kosong dan sudah dipindahkan ke Cengkareng untuk sementara waktu. Jadi saya segera menuju kesana dan sesampainya disana saya izin dengan petugas lalu saya mencari subyek saya. Saya begitu berterima kasih dengan subyek saya ini, karena dia begitu dapat diajak bekerja sama dan dengan senang hati dapat membantu saya lagi. Dia bersedia untuk diwawancarai dan mengerti dengan permasalahan saya. Nah didalam wawancara kali ini, bina rapor yang telah terjalin baik di wawancara sebelumnya telah terjalin disini jadi saya tidak perlu repot banyak berbicara mengenai kata pendahuluan dan menjalankan proses wawancara dengan baik. Walaupun pembicaraan kami dipotong oleh waktu solat dan teman-temannya, subyek tetap dapat menjawab dengan baik meskipun setelah solat dia terlihat mulai tidak fokus dengan proses wawancara. Sementara dari saya, saya merasa tidak memiliki kegugupan berarti namun saya harus melatih untuk dapat membagi konsentrasi saya antara mencatat kata kunci, mengobservasi, dan okus dalam mendengarkan jawaban-jawaban subyek. Karena tangan saya yang harus memegang recorder dan tuntunan wawancarapun mengharuskan saya hanya mengingat hasil observasi yang saya lakukan.
Dari semua badai yang saya lalui untuk teknik wawancara, saya merasa bahwa ilmu ini sangat amat berguna sekali bagi kelangsungan hidup dan proses adaptasi saya di dunia psikologi dan sehari-hari. Saya merasa bahwa ilmu ini yang harus dipegang dengan sangat baik dan diterapkan lebih dari sangat baik di kehidupan. Untuk dosennya, dari beliau saya belajar bagaimana hidup yang disiplin dapat membantu saya menjadi lebih baik. Kalau saya tidak salah hitung, teknik wawancara merupakan mata kuliah pertama yang selalu saya hadiri tanpa adanya absen atau sakit. Karena pelajaran ini selalu menarik bergitu juga pengalaman dari Bu Henny yang bermacam-macam jenisnya sehingga dapat memperluas pengetahuan saya mengenai dunia psikologi. Terima kasih Ibu untuk kesediannya membagi ilmu dengan saya. Semoga saya dapat bertemu Ibu di mata kuliah lain ya Bu

6 Juni 2013

0 komentar:

Posting Komentar