Let's Talk About Love (Meylisa Permata Sari)
Haloo.. Setelah liburan semester yang cukup (ga juga sih) panjang, saya mulai mengikut perkuliahan seperti biasa. Pada semester ini, saya kembali menemui Ibu Henny dan Ci Tasya tapi di mata kuliah yang berbeda, yaitu kelas Perilaku Seksual. Bagi teman-teman yang belum tahu, di kelas ini, Ibu Henny tidak mengajarkan bagaimana cara melakukan perilaku seksual itu, namun untuk memahami perilaku seksual dari teori-teori yang ada, beserta dengan masalah-masalah perilaku seksual yang biasa terjadi pada masyarakat.
Pada pertemuan yang pertama, kelas ini menerangkan mengenai cinta. Jika Anda ditanya mengenai apa itu cinta, dapatkah Anda menjawabnya? Jika pun iya, apakah jawaban Anda sama dengan teman Anda yang lainnya?
Seringkali kita berbicara mengenai cinta, namun kita sendiri masih bingung dengan apa itu yang dinamakan sebagai cinta. Ada yang mengatakan bahwa misteri tentang cinta merupakan daya tarik dari cinta itu.
Saya ingin bertanya, Anda tidak serta merta bertemu banyak orang lalu mencintai orang-orang tersebut bukan? Bagaimana pada akhirnya “dia” menjadi orang yang kita pilih sebagai orang yang kita cintai? Ada banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan bagaimana cinta dapat terjadi. Ada teori yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki pheromones, dan secara tidak langsung, kita “mengendus” pheromones orang lain. Jika pheromones itu sesuai dengan selera kita, maka perasaan cinta itu terbentuk. Ada lagi teori lain yang menyatakan bahwa perasaan cinta itu terbentuk dari kebutuhan kita untuk dilindungi dari ancaman, menjaga anak kita dan dari dorongan seksual. Ada lagi yang mengatakan bahwa kita mencintai seseorang karena kita BERPIKIR bahwa kita mencintai orang tersebut. Ada banyak lagi teori lain yang mencoba menjelaskan bagaimana pada akhirnya kita dapat mencintai seseorang, namun apakah hal itu benar-benar menjelaskan keadaan yang sesungguhnya dari cinta tersebut? Mungkin, itulah salah satu misteri cinta.
Cinta, cinta, cinta. Kita sering menemukan film-film ataupun cerita yang menceritakan kisah cinta. Siapa yang tidak tahu kisah Cinderella? Sejak kecil, saya sering menemukan kisah ini, tidak hanya dari bacaan, namun dari filmnya juga. Bagaimana Sang Pangeran bertemu dengan Cinderella lalu mereka hidup bahagia selama-lamanya. Saat masih kecil saya suka sekali dengan cerita ini, namun kenyataan menunjukkan sebaliknya. Coba saja Cinderella itu bukan gadis yang jelita. Bagaimana jika Cinderella itu ternyata pendek, hidung pesek, rambut bercabang. Apakah Pangeran tetap ingin dengan Cinderella? Bagaimana jika ternyata kerajaan Pangeran berperang dan kalah sehingga mereka jatuh miskin, akankah mereka tetap “Live happily ever after?”. Berkhayal itu boleh, tapi tetap saja kita harus melihat realita yang ada.
Atau jangan-jangan, karena terlalu banyak melihat bagaimana cinta di dunia fiksi, kita menganut konsep cinta itu ke dunia nyata, bahwa pasangan kita harus seperti pangeran. Datang itu harus pakai mobil mewah (pengganti kuda putih), bawa bunga, dsb. Kalau tidak seperti itu marah-marah ke pasangan. Katanya tidak ada usaha lah untuk membangun hubungan.
Dalam membangun hubungan itu memang membutuhkan usaha. Jika tidak ada usaha, maka hubungan itu bisa hancur. Namun, saya ingin berbagi pengalaman tentang pembicaraan saya dan sepupu saya mengenai usaha.
Ada suatu hari di mana saya mengeluh kepada sepupu saya mengenai pasangan. “Kok dia ga perhatian ya? Ga ini ga itu?”
Sepupu saya bertanya, “dia telepon ga? Ngapel ga ke rumah kamu?”
“Iya ko”
“Itu mah namanya pasangan masih berusaha untuk berhubungan.”
“Lah, bukankah itu memang hal yang seharusnya dilakukan pasangan untuk saya?”
Sepupu saya berkata, “Coba kamu pikir ya Mel, untuk dateng ke rumah kamu, itu butuh usaha. Waktu, uang, bensin, belum lagi kalau lagi panas. Mungkin menurut kamu itu hal yang wajar untuk dilakukan, tapi itu usaha bukan?”
Dari percakapan saya dengan sepupu saya, saya belajar bahwa sering kali kita merasa bahwa apa yang pasangan lakukan untuk kita adalah hal yang seharusnya dilakukan, seperti istri membuatkan kopi untuk suami, atau suami membetulkan listrik yang rusak, namun kita lupa bahwa untuk melakukan hal tersebut, itu butuh usaha. Mungkin kita harus merenung dan bertanya pada diri kita sendiri, apakah mungkin kita yang tidak menyadari usaha pasangan kita? Dan hanya berfokus pada ekspektasi kita?
Mungkin saja kisah cinta yang kita jalani tidak seperti di kisah dongeng, namun kita dapat membuat kisah cinta yang indah menurut versi kita sendiri bukan? Mungkin pasangan kita tidak sempurna, namun bukankah ia juga menerima kita dalam ketidaksempurnaan kita?
Semoga artikel ini bisa menjadi pencerahan bagi orang-orang yang sedang menjalani kisah cintanya, dan juga referensi bagi orang yang akan membentuk kisah cintanya suatu saat nanti..
1 Corinthians 13:4-8 (New International Version)
“Love is patient, love is kind. It does not envy, it does not boast, it is not proud. It does not dishonor others, it is not self-seeking, it is not easily angered, it keeps no record of wrongs. Love does not delight in evil but rejoices with the truth. It always protects, always trusts, always hopes, always perseveres. Love never fails. But where there are prophecies, they will cease; where there are tongues, they will be stilled; where there is knowledge, it will pass away.”
24 Agustus 2013
Pada pertemuan yang pertama, kelas ini menerangkan mengenai cinta. Jika Anda ditanya mengenai apa itu cinta, dapatkah Anda menjawabnya? Jika pun iya, apakah jawaban Anda sama dengan teman Anda yang lainnya?
Seringkali kita berbicara mengenai cinta, namun kita sendiri masih bingung dengan apa itu yang dinamakan sebagai cinta. Ada yang mengatakan bahwa misteri tentang cinta merupakan daya tarik dari cinta itu.
Saya ingin bertanya, Anda tidak serta merta bertemu banyak orang lalu mencintai orang-orang tersebut bukan? Bagaimana pada akhirnya “dia” menjadi orang yang kita pilih sebagai orang yang kita cintai? Ada banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan bagaimana cinta dapat terjadi. Ada teori yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki pheromones, dan secara tidak langsung, kita “mengendus” pheromones orang lain. Jika pheromones itu sesuai dengan selera kita, maka perasaan cinta itu terbentuk. Ada lagi teori lain yang menyatakan bahwa perasaan cinta itu terbentuk dari kebutuhan kita untuk dilindungi dari ancaman, menjaga anak kita dan dari dorongan seksual. Ada lagi yang mengatakan bahwa kita mencintai seseorang karena kita BERPIKIR bahwa kita mencintai orang tersebut. Ada banyak lagi teori lain yang mencoba menjelaskan bagaimana pada akhirnya kita dapat mencintai seseorang, namun apakah hal itu benar-benar menjelaskan keadaan yang sesungguhnya dari cinta tersebut? Mungkin, itulah salah satu misteri cinta.
Cinta, cinta, cinta. Kita sering menemukan film-film ataupun cerita yang menceritakan kisah cinta. Siapa yang tidak tahu kisah Cinderella? Sejak kecil, saya sering menemukan kisah ini, tidak hanya dari bacaan, namun dari filmnya juga. Bagaimana Sang Pangeran bertemu dengan Cinderella lalu mereka hidup bahagia selama-lamanya. Saat masih kecil saya suka sekali dengan cerita ini, namun kenyataan menunjukkan sebaliknya. Coba saja Cinderella itu bukan gadis yang jelita. Bagaimana jika Cinderella itu ternyata pendek, hidung pesek, rambut bercabang. Apakah Pangeran tetap ingin dengan Cinderella? Bagaimana jika ternyata kerajaan Pangeran berperang dan kalah sehingga mereka jatuh miskin, akankah mereka tetap “Live happily ever after?”. Berkhayal itu boleh, tapi tetap saja kita harus melihat realita yang ada.
Atau jangan-jangan, karena terlalu banyak melihat bagaimana cinta di dunia fiksi, kita menganut konsep cinta itu ke dunia nyata, bahwa pasangan kita harus seperti pangeran. Datang itu harus pakai mobil mewah (pengganti kuda putih), bawa bunga, dsb. Kalau tidak seperti itu marah-marah ke pasangan. Katanya tidak ada usaha lah untuk membangun hubungan.
Dalam membangun hubungan itu memang membutuhkan usaha. Jika tidak ada usaha, maka hubungan itu bisa hancur. Namun, saya ingin berbagi pengalaman tentang pembicaraan saya dan sepupu saya mengenai usaha.
Ada suatu hari di mana saya mengeluh kepada sepupu saya mengenai pasangan. “Kok dia ga perhatian ya? Ga ini ga itu?”
Sepupu saya bertanya, “dia telepon ga? Ngapel ga ke rumah kamu?”
“Iya ko”
“Itu mah namanya pasangan masih berusaha untuk berhubungan.”
“Lah, bukankah itu memang hal yang seharusnya dilakukan pasangan untuk saya?”
Sepupu saya berkata, “Coba kamu pikir ya Mel, untuk dateng ke rumah kamu, itu butuh usaha. Waktu, uang, bensin, belum lagi kalau lagi panas. Mungkin menurut kamu itu hal yang wajar untuk dilakukan, tapi itu usaha bukan?”
Dari percakapan saya dengan sepupu saya, saya belajar bahwa sering kali kita merasa bahwa apa yang pasangan lakukan untuk kita adalah hal yang seharusnya dilakukan, seperti istri membuatkan kopi untuk suami, atau suami membetulkan listrik yang rusak, namun kita lupa bahwa untuk melakukan hal tersebut, itu butuh usaha. Mungkin kita harus merenung dan bertanya pada diri kita sendiri, apakah mungkin kita yang tidak menyadari usaha pasangan kita? Dan hanya berfokus pada ekspektasi kita?
Mungkin saja kisah cinta yang kita jalani tidak seperti di kisah dongeng, namun kita dapat membuat kisah cinta yang indah menurut versi kita sendiri bukan? Mungkin pasangan kita tidak sempurna, namun bukankah ia juga menerima kita dalam ketidaksempurnaan kita?
Semoga artikel ini bisa menjadi pencerahan bagi orang-orang yang sedang menjalani kisah cintanya, dan juga referensi bagi orang yang akan membentuk kisah cintanya suatu saat nanti..
1 Corinthians 13:4-8 (New International Version)
“Love is patient, love is kind. It does not envy, it does not boast, it is not proud. It does not dishonor others, it is not self-seeking, it is not easily angered, it keeps no record of wrongs. Love does not delight in evil but rejoices with the truth. It always protects, always trusts, always hopes, always perseveres. Love never fails. But where there are prophecies, they will cease; where there are tongues, they will be stilled; where there is knowledge, it will pass away.”
24 Agustus 2013
0 komentar:
Posting Komentar