Lesson two (Adhina Kumala)

Pada kelas minggu lalu (11/09) kami membahas tentang keterampilan dasar wawancara.
Pertama adalah membina rapport. Dalam proses wawancara pasti kan ada seorang subjek yang informasinya mau kita korek. Maka dari itu, agar kita dapat mengorek informasi secara dalam dari beliau, kita harus membuat beliau nyaman dengan kita agar beliau mau terbuka dengan kita. Apabila beliau terbuka dengan kita, kan jadi lebih gampang kita mengoreknya (bukan mengorek lubang hidung, telinga berserta lubang2 lainnya ya). Nah, disini keterampilan kita sebagai pewawancara diuji karena pewawancara lah yang menentukan apakah subjek mau terbuka atau tidak. Pewawancara harus menciptakan lingkungan yang nyaman untuk subjek. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah seperti tersenyum hangat (bukan senyum sambil bawa-bawa kompor ya, kata bu Henny), berjabat tangan, memberi sambutan yang hangat, menunjukkan ekspresi kepedulian dan ketertarikan terhadap subjek, dan perhatikan pula kondisi ruangan (pencahayaan, suhu, etc).
Yang kedua adalah empati. Empati itu bukan hanya melibatkan perasaan kasihan saja akan tetapi kita menempatkan diri kita dalam posisi orang tersebut. Disini kuncinya adalah tetap fokus terhadap subjek di setiap saat. Sebenarnya, ketika membahas soal empati, bu Henny menyuruh kami semua melakukan sesuatu yang sangat menarik di kelas. Nah, apakah itu? Saya bahas di post terpisah ya…
Selanjutnya, yang ketiga adalah “attending behavior. Disini kuncinya adalah pewawancara hendaknya jangan terlalu banyak bicara dan berikan subjek waktu untuk bercerita tentang diri mereka. Hendaknya pewawancara memperhatikan apa yang dibicarakan oleh subjek dan sekali-sekala berikan pertanyaan dan pendapat mengenai topik yang dibicarakannya.
Yang keempat adalah “open question”. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan terhadap subjek hendaknya memiliki sifat yang tidak mengarahkan agar beliau lebih bebas untuk mengekspresikan perasaannya. Dengan begitu, informasi yang didapat akan lebih kaya dari beliau. Misalnya, ada klien yang bercerita bahwa dia telah disakiti, daripada menanyakan “Apa Anda marah?” (yang merupakan leading question), lebih baik pewawancara menanyakan ”Apa yang kamu maksud dengan menyakiti?” (yang tidak mengarahkan).
Yang kelima adalah teknik bertanya. Hendaknya pewawancara jangan memaksa subjek untuk bicara dan menanyakan hal yang bersifat personal dengan daftar pertanyaan yang sangat panjang. Hal ini akan membuat subjek merasa ditekan dan malah takut untuk berbicara. Yang ada malah beliau akan menyembunyikan informasi-informasi yang nantinya sangat berguna bagi pewawancara. Pertanyaan yang terus menerus ditanyakan akan membuat subjek tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Pertanyaan “mengapa?” hendaknya tidak diajukan.  Mengapa? (kalau sekarang boleh dong saya pakai) Karena pertanyaan “mengapa” akan memunculkan rasionalisasi subjek saja, membuat subjek merasa harus bertanggung jawab akan segala sesuatu. Lebih baik menggunakan ‘apa?’, ‘bagaimana?’,
Yang keenam adalah keterampilan observasi yang berfokus pada perilaku non-verbal (ekspresi wajah, bahasa tubuh), verbal (perhatikan keywords), dan pewawancara harus mewaspadai diskrepansi antara statusisasi serta kontroversi hati dan konspirasi kemakmuran twenty-nine my age subjek… eh, bercanda…. kembali ke jalan yang benar~ pewawancara harus mewaspadai diskrepansi antara tindakan verbal dan non-verbal subjek selama wawancara. Inkongruensi bisa mengindikasikan bahwa subjek merasa tidak nyaman untuk mendiskusikan masalah tertentu atau bahwa klien tidak sepenuhnya bersikap jujur.
Yang ketujuh adalah active listening yang terdiri dari: encouraging (melakukan tindakan2 verbal maupun non-verbal yang bertujuan untuk mendorong subjek untuk terus bercerita, seperti menganggukkan kepala dan mengucapkan “hmm…”, “Ya…”, “oke…”, “lalu…”). Kemudian, parafrase (refleksi konten cerita) dan refleksi perasaan klien, serta summerizing. (digunakan untuk mengklarifikasi apa yang telah diceritakan oleh subjek).

17 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar