Menikah & Beranak Cucu, Kodrat atau Pilihan? (Jonathan Handy Kristanto)



Sudah dari lama sejak zaman nenek moyang kita, menikah dianggap sebagai kodrat dari seorang perempuan. Pada khususnya di kalangan orang Indonesia dan keturunan Tionghoa, perempuan diharuskan untuk bersatu dengan laki - laki yang dianggap baik oleh keluarga besar, melahirkan dan menimang cucu, serta meneruskan keturunan, baik mereka yang menganut sistem patrilineal dan matrilineal ataupun keduanya (bilineal).

Akan tetapi, benarkah pernyataan tersebut di atas ? Jawabannya adalah tidak. Mengapa ? 

Pertama, menikah bukanlah kodrat dari seorang perempuan. Perlu ditekankan di sini, seperti yang tertera pada artikel dua minggu lalu, di mana kodrat dari seorang perempuan bukanlah menikah dan melahirkan, melainkan menstruasi. Ketika seorang perempuan dibuahi oleh sperma laki - laki dan menghasilkan janin, barulah hal tersebut merupakan hasil dari kodrat perempuan itu sendiri. 

Kedua, perlu ditinjau kembali dengan pernyataan di mana seorang perempuan diharuskan untuk menikah. Masih pantaskah pada zaman sekarang ini, di mana teknologi telah berkembang dan emansipasi wanita di Indonesia telah berlangsung lebih dari 50 tahun lamanya (belum terhitung di luar), seorang perempuan diwajibkan untuk diam di rumah dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tentu saja hal ini tidak dapat dibantah seandainya hal ini merupakan keinginan perempuan itu sendiri, dan sudah menjadi tanggung jawabnya ketika dia telah memutuskan untuk menikah dan memelihara anak. 

Akan tetapi, yang sering terjadi adalah di mana ketika seorang perempuan didesak untuk menikah oleh orang tua dan keluarga besar mereka. Bahkan di Cina, tidak asing bagi seseorang perempuan untuk menyewa seorang laki - laki agar dijadikan sebagai pacar ataupun tunangan sementara mereka pada saat imlek atau pertemuan keluarga besar yang berlangsung 1 tahun 1x ataupun 2x. Hal ini ditujukan supaya menenangkan keluarga besar mereka dan menghindari keributan yang lebih besar, seperti ditetapkannya fiancee untuk mereka oleh keluarga besar.

Masalah ini tentu berlanjut ketika penulis membahas mengenai perceraian. Perceraian seringkali tidak terhindarkan tatkala adanya KDRT, akan tetapi faktor yang lebih menyedihkan adalah ketika satu pasangan menikah bukan terjadi karena atas dasar saling mencintai, melainkan karena dilakukannya perjodohan oleh keluarga. Seringkali pula seorang anak merasa tidak enak jika tidak memiliki suami atau istri, sehingga terpaksa mereka menikah dengan seseorang yang tidak mereka cintai, sambil berharap dalam berjalannya pernikahan mereka, keduanya akan dapat hidup akur dan saling mencintai satu sama lain.

Berbicara tentang cinta, ada begitu banyak jenis, akan tetapi cinta yang sehat adalah perfect love, yaitu di mana ada passion, commitment serta intimacy di dalamnya. Dengan demikian, pasangan tersebut akan puas terhadap keputusan mereka untuk menikahi pasangan mereka tanpa menyesali seandainya di tengah - tengah perjalanan bahtera rumah tangga mereka muncul berbagai cobaan.

Jadi, menikah dan beranak cucu, masih perlukah bagi seorang perempuan ? Jawabannya tentunya balik kepada masing - masing individu sendiri, tetapi pastikan anda dapat berkomitmen terhadap keputusan yang anda buat, jangan nantinya malah merusak diri anda dan keluarga anda nantinya. Sekian dan terima kasih. 
 
19 September 2013

0 komentar:

Posting Komentar