Wawancara --> The Most Enjoyable Experience Ever (Kusbandiyah Chandrawati)

Mari kita lanjutkan lagi pembicaraan tentang “wawancara”….
Sudah lama juga rasanya saya tidak menulis…. Dan sekarang… Banyak cerita yang ingin saya ungkap di sini, mengenai “wawancara”.  
Sudah beberapa minggu terakhir ini saya cukup sibuk dengan mata kuliah yang namanya teknik wawancara beserta tugas-tugasnya, namun bukan berarti kesibukkan itu membuat saya merasa jenuh. Justru sebaliknya, meski sibuk, tapi ada perasaan senang tersendiri di dalamnya. Mengapa demikian?


Yupz… karena hanya di mata kuliah ini lah saya bisa mendapatkan pengalaman baru sebagai seorang pewawancara. Kapan lagi saya bisa merasakan yang namanya wawancara face to face dengan seseorang guna mengumpulkan informasi kalau bukan di mata kuliah ini.

Sejak awal dikatakan bahwa akan praktek wawancara di lab, rasanya saya sungguh tidak sabar ingin merasakannya, dan beberapa minggu inilah akhirnya saya dapat merasakannya. Saya bisa memasuki suatu ruangan kecil di mana hanya terdapat sebuah meja dan dua buah kursi di dalamnya. Di sana saya akan berperan sebagai seorang pewawancara.

Mari saya ceritakan sejak awal praktek di mulai. Minggu pertama, saya berperan sebagai seorang HRD yang memanggil salah satu staff accounting-nya karena ia sering datang terlambat. Hmm… Merasa punya kekuasaan…. Hehe… Rasanya seru sekali. Meskipun seru, bukan berarti hal itu mudah dilakukan. Bayangkan, kita harus melakukan wawancara dengan menerapkan teknik-teknik yang telah diajarkan sebelumnya. Awalnya yang agak saya takutkan adalah kontak mata. Saya pikir akan sulit melakukan kontak mata jika kita berhadapan dengan seseorang tepat di depan kita dalam keadaan formal. Namun ternyata… kontak mata tidak sesulit yang saya pikirkan. Akan tetapi, hal yang tidak saya anggap sulit ternyata kemudian menjadi hal yang sulit saya kuasai saat wawancara. Apa itu? Ternyata masalah konsentrasi…. Hmm… padahal selama ini saat saya belajar ataupun melakukan aktivitas lain, rasanya saya tidak pernah bermasalah dengan konsentrasi. Ternyata pada saat wawancara, untuk berkonsentrasi terhadap jawaban seseorang itu sulit. Saya kurang dapat berkonsentrasi saat klien saya bercerita, rasanya pikiran saya melayang-layang entah kemana. Nah, itu membuat saya tidak dapat memberikan pertanyaan secara mengalir, sehingga pertanyaan yang saya berikan terkesan melompat-lompat. Baiklah… Itu baru praktek pertama kan? Let’s try better for the next.

Selanjutnya, minggu kedua datang. Kali ini saya berperan sebagai seorang guru BK.  Asik… Kapan lagi bisa jadi guru? Hehe… Saya berperan sebagai guru BK yang memanggil salah satu muridnya karena di kelas ia sering mengganggu teman-temannya. Bayangkan apa yang terjadi? Pertanyaan yang telah saya rencanakan akhirnya tidak sesuai dengan jawaban teman saya yang berperan sebagai murid. Jadi bagaimana? Ya sudah… Saya berusaha berkonsentrasi mengikuti apa yang ia ceritakan dan membuat pertanyaan baru dari jawabannya. Alhasil, not bad lah… akhirnya saya bisa berkonsentrasi dan mengikuti alur jawaban klien. Mungkin terlalu senangnya saya telah dapat berkonsentrasi, dan terjadilah kebodohan berikutnya. Saya lupa merangkum jawaban (summarizing) klien di akhir wawancara, padahal pada wawancara yang pertama saya telah melakukannya. Haduh… Lagi-lagi tidak sempurna…

Nah, apa kabar dengan praktek di minggu terakhir?
Begini ceritanya… Minggu ketiga tiba, dan saya sudah berjanji pada diri saya bahwa praktek terakhir harus sempurna. No more error happened again! Saya sudah berusaha sebaik mungkin melatih diri di rumah, berusaha menghafal semua pertanyaan yang akan saya tanyakan dan berusaha mengingat semua teknik wawancara yang harus diterapkan. Baik… I’m ready now! Let’s start it!
Coba tebak apa yang terjadi?
Yupz… Gagal lagi!  Huff… Keberuntungan sungguh tidak berpihak pada saya. Mungkin segala macam persiapan telah saya lakukan. Tapi, bagaimana kalau ternyata faktor lain ikut berperan? Faktor apa itu? Takdir… Sungguh bodoh sekali saya hampir datang terlambat di praktek terakhir. Biasanya jika saya berangkat pada jam itu, saya akan tiba sekitar 30 menit sebelum kelas di mulai. Mana terpikir oleh saya bahwa hari itu jalanan sungguh macet tidak seperti biasanya. Alhasil… saya tiba tepat di saat kelompok saya akan masuk ke ruang praktek dan memulai sebagai pewawancara pertama. Akhirnya, tanpa pikir panjang saya langsung memasukki ruang praktek dan berperan sebagai seorang psikolog. Tiba di ruang praktek dalam keadaan tergesa-gesa, keringat bercucuran dan napas yang masih terengah-engah sungguh merusak segalanya. Jadi apa yang terjadi? Blank… hilang semua yang sudah saya pelajari, hilang semua yang sudah saya persiapkan. Jadilah saya psikolog dadakan yang mencari informasi dari kliennya. Klien saya alias teman saya bercerita bahwa ia mengalami masalah tidak percaya diri akan tubuhnya yang gemuk. Meskipun dalam keadaan panik, tentunya teknik-teknik dasar wawancara tetap tidak akan terlewatkan. Namun, hal yang kembali terulang adalah masalah konsentrasi. Saya lupa memperkenalkan diri serta kurang fokus akan pertanyaan yang saya berikan. Pertanyaan yang saya berikan terkesan melompat-lompat lagi dan tidak ada alurnya. Meskipun saya telah menghafal pertanyaan yang akan saya berikan, namun saat klien menjawab di luar ekspektasi saya, saya menjadi bingung dan kurang dapat menguasai situasi. Saya bingung… Saya kurang dapat membedakan apakah klien saya yang kali ini memberikan jawaban yang kurang informatif atau saya yang memberikan pertanyaan dengan kurang jelas, sebab pada klien-klien sebelumnya saya tidak merasakan demikian. Tapi overall, semua masih dapat digolongkan cukup baik. Meskipun setiap praktek masih ada kekurangannya, tapi okelah… namanya juga masih latihan. Mungkin suatu hari nanti saya tentunya akan bisa karena biasa…

Itulah praktek wawancara saya di lab, mungkin masih banyak kurangnya. Nah, masih ada satu lagi pengalaman wawancara saya. Kali ini bukan latihan lagi, tapi sudah langsung terjun ke lapangan. Bukan teman lagi yang menjadi klien saya, tapi ini adalah orang yang bahkan belum pernah saya kenal sama sekali.

Kali ini saya berkesempatan untuk mewawancarai salah satu orang lanjut usia yang tinggal di panti werdha. Ini bukan saatnya main-main lagi. Kali ini harus serius karena ini juga menyangkut nasib tugas akhir mata kuliah teknik wawancara saya. Baiklah, setidaknya saya mungkin tidak akan sekaku saat wawancara di lab. Saya berusaha untuk membuat suasana tidak tegang dan membuat keadaan seolah-olah hanya berbincang-bincang biasa.

Saat tiba di panti, ternyata sulit mencari lansia yang berkenan diajak bicara. Beberapa tidak mau diajak bicara, dan lainnya yang bersedia sudah di pilih oleh teman saya. Awalnya saya memilih seorang lansia wanita di panti itu. Saat pertama menyapanya, terlihat ia ramah dan bisa diajak bicara. Betapa senangnya saya akhirnya mendapatkan klien setelah cukup lama mengelilingi panti tersebut untuk mencari. Pada awal pembicaraan, terlihat tidak ada yang aneh dengannya, namun semakin lama ia semakin berbicara aneh dan kata-katanya tidak saya mengerti. Tidak hanya itu saja, ia bahkan bicara tanpa hentinya. Saya bingung dan salut, napasnya panjang sekali sehingga bisa bicara tanpa henti selama ± 20 menit. Saya ingin tinggalkan dia tapi sungguh tidak sopan. Tapi jika saya terus mendengarkannya, saya tidak mengerti apa yang ia bicarakan.

Baiklah akhirnya saya berhasil lepas dari lansia pertama setelah beberapa lama saya menunggu. Selanjutnya, lansia wanita kedua. Terlihat tidak ada yang aneh juga. Awalnya saya ajak bicara cukup dapat dimengerti, namun semakin lama bicaranya semakin tidak nyambung. Bukan bahasanya yang tidak jelas seperti lansia pertama, tapi yang kali ini tidak nyambung saat diajak bicara. Sepertinya ia mengalami halusinasi, dan pada menit ke-7 tiba-tiba lansia ini mengatakan bahwa ia tidak mau lagi diajak bicara. Tiba-tiba ia katakan “sudah cukup, oma tidak mau lagi” tanpa ada alasan yang jelas. Oke… gagal lagi…

Ckckck… saya mulai pasrah…
Akhirnya tibalah saya pada lansia ketiga, dan yang kali ini adalah laki-laki. Saya berpikir, kalau masih tidak berhasil juga, saya pasrah dan tidak tahu lagi harus bagaimana. Untungnya kali ini berhasil. Ia bersedia di wawancarai dan apa yang ia katakan masuk akal serta dapat dimengerti. Awalnya ia bersikap agak tertutup, namun di akhir-akhir wawancara, ia kemudian mulai terbuka dan mau menceritakan segala hal yang saya tanyakan.
Akhirnya tugas wawancara saya di panti werdha bisa selesai. Yes… Saatnya pulang…


Meskipun terjadi banyak kekacauan saat wawancara. Tapi itulah yang kemudian menjadi pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan dan mungkin akan menjadi hal yang dirindukan. Overall, it can be done with good results and will be the most enjoyable experience ever.

5 Juni 2013

0 komentar:

Posting Komentar